EPL info

PRIMERA DIVISION info

ISL info

BUNDESLIGA info

SERIE A info

Jumat, 04 Februari 2011

goal

 update 
tim sepakbolamu 
hanya di GOAL.COM

Killing Me Inside - Biarlah...

SOLO

SOLO (sering juga disebut Surakarta) adalah kota tetangga Yogyakarta di Pulau Jawa, Indonesia. Wisatawan memang lebih banyak berkunjung ke Yogyakarta, namun sebenarnya Solo tidak kalah menakjubkan.
Sekitar 15 km di sebelah utara Kota Solo terdapat situs arkeologi penting, yaitu Sangiran. Di sana banyak ditemukan fosil manusia purba yang hidup di Pulau Jawa sejuta tahun silam. Separuh dari seluruh fosil manusia purba di dunia ditemukan di Sangiran sehingga UNESCO menetapkannya sebagai salah satu Situs Warisan Dunia.
Di kaki Gunung Lawu yang tak jauh dari Kota Solo, berdiri Candi Sukuh dan Candi Cetho. Candi Sukuh adalah salah satu candi paling menarik di Asia Tenggara. Arsitekturnya menyerupai piramida terpancung Suku Maya di Amerika Tengah. Namun yang paling unik adalah ornamennya yang erotis. Konon, Candi Sukuh dan Candi Cetho merupakan candi terakhir yang dibangun di Pulau Jawa seiring dengan surutnya Kerajaan Majapahit dan pengaruh Hindu.
Kekuasaan Majapahit di Pulau Jawa kemudian digantikan oleh kerajaan-kerajaan Islam. Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 membagi Kerajaan Mataram Islam menjadi Kasunanan Surakarta yang berpusat di Kota Solo dan Kesultanan Yogyakarta yang mendirikan istananya di Kota Jogja. Sejarah telah memperlihatkan bahwa Surakarta dan Yogyakarta bersaudara.
Berdua dengan Yogyakarta, Surakarta merupakan rahim bagi kebudayaan Jawa. Ratusan tahun menjadi salah satu pusat budaya Jawa inilah yang kemudian melahirkan slogan Solo the Spirit of Java. Pencapaian Solo dalam hal seni tari dan batik, misalnya, sungguh luar biasa. Solo sering disebut sebagai Ibukota Batik. Di kota ini terdapat Kampoeng Batik Laweyan yang merupakan kampung para pengrajin batik sejak jaman dulu. Ada pula Museum Batik Kuno Danar Hadi, museum batik terbaik dan terlengkap di dunia.
Jalan-jalan dan makan-makan adalah dua hal penting dalam berwisata. Kota Solo tidak kekurangan masakan tradisonal nan lezat. Sebut saja Nasi Liwet Wongso Lemu dengan areh yang gurih disajikan dalam pincuk daun pisang. Ada pula Gudeg Ceker Margoyudan yang hanya buka dini hari, Serabi Notokusuman yang lembut dan manis, dan puluhan tempat untuk mencicipi resep tradisional yang terkenal.
Berwisata takkan lengkap bila tidak membeli cendera mata. Pasar Klewer, Beteng Trade Center, hingga Pasar Windujenar menjadi surga untuk berburu cendera mata khas Surakarta, dari batik hingga barang antik.

Dari Yogyakarta ke Solo (Surakarta)

Solo (Surakarta) terletak hanya 65 km di sebelah timur laut Kota Yogyakarta dan bisa ditempuh dalam 1,5 jam perjalanan dengan bis ekonomi yang tersedia 24 jam. Kereta api Pramex melayani rute Yogyakarta - Solo 10 x setiap hari. Taksi dan mobil sewa dengan senang hati akan mengantarkan Anda ke Solo setiap saat.
Solo (Surakarta) juga memiliki Bandara Internasional Adisumarmo yang melayani penerbangan langsung dari Jakarta, Denpasar (Bali), Kuala Lumpur (Malaysia) dan Singapura.

Dieng Plateau

Nama Dieng berasal dari bahasa Sansekerta yaitu "di" yang berarti tempat, dan "hyang" yang berarti dewa pencipta. Secara keseluruhan Dieng dapat diartikan sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Sementara para penduduk sekitar sering mengartikan bahwa Dieng berasal dari kata "edi" yang berarti cantik dalam bahasa Jawa, dan "aeng" yang berarti aneh. Dengan kata lain Dieng adalah sebuah tempat yang cantik namun memiliki banyak keanehan.
Terletak pada ketinggian 2000 meter dpl, masyarakat Dieng patut bersyukur atas melimpahnya kekayaan yang dianugerahkan kepada tanah mereka yang cantik dan eksotik ini. Kompleks Candi Arjuna yang merupakan candi hindu tertua di Pulau Jawa masih berdiri dengan tegaknya di tengah deraan waktu dan cuaca, menjadi bukti warisan kekayaan budaya yang luar biasa. Meskipun beberapa bagian candi mulai aus dimakan usia, namun candi pemujaan Dewa Siwa yang dibangun pada tahun 809 M ini tetap kokoh berdiri memberikan nuansa kedamaian di tengah keheningan alam pegunungan.
Cuaca dingin yang cukup ekstrim untuk sebuah wilayah yang terletak di daerah tropis telah memunculkan gaya hidup dan gaya berpakaian yang unik dari para penduduknya. Suhu udara pada siang hari berkisar antara 15-20 derajat celcius sementara pada malam hari berkisar antara 10 derajat celcius. Pada bulan Juli dan Agustus suhu bisa mencapai 0 derajat celcius pada siang hari dan -10 derajat celcius pada malam hari.
Udara sejuk dan dingin ini benar-benar dimanfaatkan oleh penduduk untuk memaksimalkan usaha pertanian mereka. Lahan yang berlimpah mereka ubah menjadi ladang untuk menanam aneka sayur dan buah-buahan. Komoditas utama mereka adalah kentang dan kubis. Carica, pepaya Dieng, disulap menjadi makanan lezat yang selalu diburu sebagai oleh-oleh khas Dieng. Purwaceng, salah satu jenis rumput yang tumbuh liar, diolah menjadi minuman khas Dieng yang berkhasiat untuk menambah kejantanan pria. Berbicara tentang kuliner, makanan khas Dieng lainnya yang wajib dicoba adalah tempe kemul yang lezat dan mie ongklok Wonosobo yang telah melegenda.
Sesungguhnya Dieng adalah wilayah vulkanik aktif dan dapat dikatakan sebagai gunung api raksasa. Datarannya terbentuk dari kawah gunung berapi yang telah mati. Bentuk kawah ini terlihat jelas dari dataran yang dikelilingi oleh gugusan pegunungan disekitarnya. Namun meskipun gunung api ini telah berabad-abad mati, beberapa kawah vulkanik masih aktif hingga sekarang. Di antaranya adalah Kawah Sikidang, yang selalu berpindah-pindah tempat dan meloncat-loncat seperti "kidang" atau kijang.
Keunikan proses terbentuknya menghasilkan bentang alam yang eksotik dan tidak ada duanya. Telaga Warna yang memantulkan warna hijau, biru dan ungu serta pesona keindahan matahari terbit dari puncak Gunung Sikunir adalah tempat-tempat yang tidak boleh dilewatkan begitu saja.
Sebagai tanah yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya para dewa, aura mistis dan berbagai mitos masih dipercaya oleh warga asli Dieng. Salah satunya adalah fenomena anak gimbal. Entah mengapa banyak anak di wilayah ini tiba-tiba berubah menjadi berambut gimbal. Mereka yang awalnya lahir dalam keadaan normal seperti anak kebanyakan, mendadak terserang demam tinggi dan tumbuh rambut gimbal di kepalanya. Sebagian besar warga percaya bahwa anak gimbal adalah keturunan pepunden atau leluhur pendiri Dieng. Mereka ini kemudian harus dipotong rambut gimbalnya melalui sebuah prosesi ruwatan, setelah permintaan si anak dipenuhi oleh orangtuanya. Bila orangtua gagal memenuhinya, maka rambut gimbal akan tumbuh lagi meski telah dipotong berkali-kali.

Dari Yogyakarta ke Dieng (Wonosobo)

Dieng terletak kurang lebih 116 km dari Yogyakarta. Untuk bisa sampai ke Dataran Tinggi Dieng, Anda bisa mempergunakan mobil pribadi atau mobil sewaan langsung menuju ke Dieng dengan jarak tempuh kurang lebih 3,5 jam. Bagi Anda yang memilih transportasi umum, bus dan travel siap mengantar anda untuk mencapai Wonosobo. Setelah itu perjalanan dilanjutkan dengan mikro bus tujuan Dieng selama kurang lebih 1 jam. Pemandangan alam dari hijaunya pegunungan di sepanjang jalan akan menemani anda dan menghilangkan rasa was-was akan jalan menanjak yang berkelak-kelok tiada hentinya.
Biaya perjalanan dari Yogyakarta ke Dieng (Wonosobo):
  • Travel Yogyakarta - Wonosobo: Rp. 40.000,-
  • Minibus Wonosobo - Dieng: Rp. 8.000,-

Monumen Jogja Kembali

1 Maret 1949, 06.00
Pusat Kota Yogyakarta

Bunyi sirene tanda istirahat dibunyikan dari pos pertahanan Belanda. Di bawah komando Letkol Soeharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III, mulai menggempur pertahanan Belanda setelah mendapat persetujuan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku penggagas serangan. Pasukan Belanda yang satu bulan semenjak Agresi Militer Belanda II bulan Desember 1948 disebar pada pos-pos kecil, terpencar dan melemah. Selama enam jam Tentara Nasional Indonesia (TNI) berhasil menduduki Kota Yogyakarta, setelah memaksa mundur pasukan Belanda. Tepat pukul 12.00 siang, sesuai dengan rencana, semua pasukan TNI menarik diri dari pusat kota ketika bantuan Belanda datang. Sebuah kekalahan telak bagi pihak Belanda.
Pertempuran yang dikenal dengan Serangan Umum 1 Maret inilah yang menjadi awal pembuktian pada dunia internasional bahwa TNI masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan serta menyatakan bahwa Republik Indonesia masih ada. Hal ini terpicu setelah Pemerintah Belanda yang telah menangkap dan mengasingkan Bung Karno dan Bung Hatta ke Sumatera, memunculkan propaganda dengan menyatakan Republik Indonesia sudah tidak ada.
Berita perlawanan selama enam jam ini kemudian dikabarkan ke Wonosari, diteruskan ke Bukit Tinggi, lalu Birma, New Delhi (India), dan berakhir di kantor pusat PBB New York. Dari kabar ini, PBB yang menganggap Indonesia telah merdeka memaksa mengadakan Komisi Tiga Negara (KTN). Dalam pertemuan yang berlangsung di Hotel Des Indes Jakarta pada tanggal 14 April 1949 ini, wakil Indonesia yang dipimpin Moh. Roem dan wakil Belanda yang dipimpin Van Royen, menghasilkan sebuah perjanjian yang ditanda tangani pada tanggal 7 Mei 1949. perjanjian ini kemudian disebut dengan perjanjian Roem Royen (Roem Royen Statement). Dalam perjanjian ini Belanda dipaksa untuk menarik pasukannya dari Indonesia, serta memulangkan Presiden dan Wakil Presiden, Soekarno-Hatta ke Jogja. Hingga akhirnya pada tanggal 27 Desember 1949 secara resmi Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia.

Makna Yang Tersirat dan Tersurat Dalam Tetengger Sejarah

Untuk mengenang peristiwa sejarah perjuangan bangsa, pada tanggal 29 Juni 1985 dibangun Monumen Yogya Kembali (Monjali). Peletakkan batu pertama monumen setinggi 31,8 meter dilakukan oleh HB IX setelah melakukan upacara tradisional penanaman kepala kerbau. Empat tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 6 Juli 1989, bangunan ini selesai dibangun. Pembukaannya diresmikan oleh Presiden Suharto dengan penandatanganan Prasasti.
Monumen yang terletak di Dusun Jongkang, Kelurahan Sariharjo, Kecamatan Ngaglik, Kapubaten Sleman ini berbentuk gunung, yang menjadi perlambang kesuburan juga mempunyai makna melestarikan budaya nenek moyang pra sejarah. Peletakan bangunanpun mengikuti budaya Jogja, terletak pada sumbu imajiner yang menghubungkan Merapi, Tugu, Kraton, Panggung Krapyak dan Parang Tritis. " Poros Makro Kosmos atau Sumbu Besar Kehidupan" begitu menurut Pak Gunadi pada YogYES. Titik imajiner pada bangunan yang berdiri di atas tanah seluas 5,6 hektar ini bisa dilihat pada lantai tiga, tepatnya pada tempat berdirinya tiang bendera.
Nama Monumen Yogya Kembali merupakan perlambang berfungsinya kembali Pemerintahan Republik Indonesia dan sebagai tetengger sejarah ditarik mundurnya tentara Belanda dari Ibukota Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 1949 dan kembalinya Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan petinggi lainnya pada tanggal 6 Juli 1949 di Yogyakarta.

Replika Pesawat Hingga Ruang Hening

Memasuki area monumen yang terletak sekitar tiga kilometer dari pusat kota Jogja ini, pengunjung akan disambut dengan replika Pesawat Cureng di dekat pintu timur serta replika Pesawat Guntai di dekat pintu barat. Menaiki podium di barat dan timur pengunjung bisa melihat dua senjata mesin beroda lengkap dengan tempat duduknya, sebelum turun menuju pelataran depan kaki gunung Monumen. Di ujung selatan pelataran berdiri tegak sebuah dinding yang memuat 420 nama pejuang yang gugur antara 19 Desember 1948 hingga 29 Juni 1949 serta puisi Karawang Bekasi-nya Chairil Anwar untuk pahlawan yang tidak diketahui namanya.
Monumen dikelilingi oleh kolam (jagang) yang dibagi oleh empat jalan menuju bangunan utama. Jalan barat dan timur menghubungkan dengan pintu masuk lantai satu yang terdiri dari empat ruang museum yang menyajikan sedikitnya 1.000 koleksi tentang Satu Maret, perjuangan sebelum kemerdekaan hingga Kota Yogyakarta menjadi ibukota RI. Seragam Tentara Pelajar dan kursi tandu Panglima Besar Jenderal Sudirman yang masih tersimpan rapi di sana. Di samping itu, ada juga ruang Sidang Utama, yang letaknya di sebelah ruang museum I. Ruangan berbentuk lingkaran dengan diameter sekitar 25 meter ini berfungsi sebagai ruang serbaguna, karena biasa disewakan untuk keperluan seminar atau pesta pernikahan.
Sementara itu jalan utara dan selatan terhubung dengan tangga menuju lantai dua pada dinding luar yang melingkari bangunan terukir 40 relief yang menggambarkan peristiwa perjuangan bangsa mulai dari 17 Agustus 1945 hingga 28 Desember 1949. sejumlah peristiwa sejarah seperti perjuangan fisik dan diplomasi sejak masa Proklamasi Kemerdekaan, kembalinya Presiden dan Wakil Persiden ke Yogyakarta hingga pembentukan Tentara Keamanan Rakyat tergambar di relief tersebut. Sedangkan di dalam bangunan, berisi 10 diorama melingkari bangunan yang menggambarkaan rekaan situasi saat Belanda menyerang Maguwo pada tanggal 19 Desember 1948, SU Satu Maret, Perjanjian Roem Royen, hingga peringatan Proklamasi 17 Agustus 1949 di Gedung Agung Yogyakarta.
Lantai teratas merupakan tempat hening berbentuk lingkaran, dilengkapi dengan tiang bendera yang dipasangi bendera merah putih di tengah ruangan, relief gambar tangan yang menggambarkan perjuangan fisik pada dinding barat dan perjuangan diplomasi pada dinding timur. Ruangan bernama Garbha Graha itu berfungsi sebagai tempat mendoakan para pahlawan dan merenungi perjuangan mereka.
Selama ini perjuangan bangsa hanya bisa didengar melalui guru-guru sejarah di sekolah, atau cerita seorang kakek pada cucunya. Monumen Yogya Kembali memberikan gambaran yang lebih jelas bagaimana kemerdekaan itu tercapai. Melihat berbagai diorama, relief yang terukir atau koleksi pakaian hingga senjata yang pernah dipakai oleh para pejuang kemerdekaan. Satu tempat yang akan memuaskan segala keingin tahuan tentang perjalanan Bangsa Indonesia meraih kemerdekaan.(YogYES.COM: R.Syah)
Monumen Yogya Kembali
Ring Road Utara, Yogyakarta
Phone: +62 274 868225.
Jadwal Kunjungan:
Selasa s/d Minggu: Pukul 08.00 s/d 16.00
Hari Senin: Tutup
Biaya Masuk: Dewasa Rp.5000, Wisatawan Asing Rp.7.500
Khusus untuk rombongan (lebih dari 30 orang), tarif dipotong 10 persen. Sedangkan anak TK mendapatkan potongan tarif 50 persen per anak.

Tugu Jogja

Tugu Jogja merupakan landmark Kota Yogyakarta yang paling terkenal. Monumen ini berada tepat di tengah perempatan Jalan Pangeran Mangkubumi, Jalan Jendral Soedirman, Jalan A.M Sangaji dan Jalan Diponegoro. Tugu Jogja yang berusia hampir 3 abad memiliki makna yang dalam sekaligus menyimpan beberapa rekaman sejarah kota Yogyakarta.
Tugu Jogja kira-kira didirikan setahun setelah Kraton Yogyakarta berdiri. Pada saat awal berdirinya, bangunan ini secara tegas menggambarkan Manunggaling Kawula Gusti, semangat persatuan rakyat dan penguasa untuk melawan penjajahan. Semangat persatuan atau yang disebut golong gilig itu tergambar jelas pada bangunan tugu, tiangnya berbentuk gilig (silinder) dan puncaknya berbentuk golong (bulat), sehingga disebut Tugu Golong-Gilig.
Secara rinci, bangunan Tugu Jogja saat awal dibangun berbentuk tiang silinder yang mengerucut ke atas. Bagian dasarnya berupa pagar yang melingkar sementara bagian puncaknya berbentuk bulat. Ketinggian bangunan tugu pada awalnya mencapai 25 meter.
Semuanya berubah pada tanggal 10 Juni 1867. Gempa yang mengguncang Yogyakarta saat itu membuat bangunan tugu runtuh. Bisa dikatakan, saat tugu runtuh ini merupakan keadaan transisi, sebelum makna persatuan benar-benar tak tercermin pada bangunan tugu.
Keadaan benar-benar berubah pada tahun 1889, saat pemerintah Belanda merenovasi bangunan tugu. Tugu dibuat dengan bentuk persegi dengan tiap sisi dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam renovasi itu. Bagian puncak tugu tak lagi bulat, tetapi berbentuk kerucut yang runcing. Ketinggian bangunan juga menjadi lebih rendah, hanya setinggi 15 meter atau 10 meter lebih rendah dari bangunan semula. Sejak saat itu, tugu ini disebut juga sebagai De Witt Paal atau Tugu Pal Putih.
Perombakan bangunan itu sebenarnya merupakan taktik Belanda untuk mengikis persatuan antara rakyat dan raja. Namun, melihat perjuangan rakyat dan raja di Yogyakarta yang berlangsung sesudahnya, bisa diketahui bahwa upaya itu tidak berhasil.
Bila anda ingin memandang Tugu Jogja sepuasnya sambil mengenang makna filosofisnya, tersedia bangku yang menghadap ke tugu di pojok Jl. Pangeran Mangkubumi. Pukul 05.00 - 06.00 pagi hari merupakan saat yang tepat, saat udara masih segar dan belum banyak kendaraan bermotor yang lalu lalang. Sesekali mungkin anda akan disapa dengan senyum ramah loper koran yang hendak menuju kantor sirkulasi harian Kedaulatan Rakyat.
Sore hingga tengah malam, ada penjual gudeg (masakan khas Yogyakarta) di pojok Jl. Diponegoro. Gudeg di sini terkenal enak dan harganya wajar. Anda bisa makan secara lesehan sambil menikmati pemandangan ke arah Tugu Jogja yang sedang bermandikan cahaya.
Begitu identiknya Tugu Jogja dengan Kota Yogyakarta, membuat banyak mahasiswa perantau mengungkapkan rasa senangnya setelah dinyatakan lulus kuliah dengan memeluk atau mencium Tugu Jogja. Mungkin hal itu juga sebagai ungkapan sayang kepada Kota Yogyakarta yang akan segera ditinggalkannya, sekaligus ikrar bahwa suatu saat nanti ia pasti akan mengunjungi kota tercinta ini lagi.
Naskah: Yunanto Wiji Utomo
Photo & Artistik: Agung Sulistiono Mabruron
Copyright © 2007 YogYES.COM

pantai parangkusumo

Nuansa sakral akan segera terasa sesaat setelah memasuki kompleks Pantai Parangkusumo, pantai yang terletak 30 km dari pusat kota Yogyakarta dan diyakini sebagai pintu gerbang masuk ke istana laut selatan. Wangi kembang setaman akan segera tercium ketika melewati deretan penjual bunga yang dengan mudah dijumpai, berpadu dengan wangi kemenyan yang dibakar sebagai salah satu bahan sesajen. Sebuah nuansa yang jarang ditemui di pantai lain.
Kesakralan semakin terasa ketika anda melihat taburan kembang setaman dan serangkaian sesajen di Batu Cinta yang terletak di dalam Puri Cepuri, tempat Panembahan senopati bertemu dengan Ratu Kidul dan membuat perjanjian. Senopati kala itu duduk bertapa di batu yang berukuran lebih besar di sebelah utara sementara Ratu Kidul menghampiri dan duduk di batu yang lebih kecil di sebelah selatan.
Pertemuan Senopati dengan Ratu Kidul itu mempunyai rangkaian cerita yang unik dan berpengaruh terhadap hubungan Kraton Yogyakarta dengan Kraton Bale Sokodhomas yang dikuasai Ratu Kidul. Semuanya bermula ketika Senopati melakukan tapa ngeli untuk menyempurnakan kesaktian. Sampai di saat tertentu pertapaan, tiba-tiba di pantai terjadi badai, pohon-pohon di tepian tercabut akarnya, air laut mendidih dan ikan-ikan terlempar ke daratan.
Kejadian itu membuat Ratu Kidul menampakkan diri ke permukaan lautan, menemui Senopati dan akhirnya jatuh cinta. Senopati mengungkapkan keinginannya agar dapat memerintah Mataram dan memohon bantuan Ratu Kidul. Sang Ratu akhirnya menyanggupi permintaan itu dengan syarat Senopati dan seluruh keturunannya mau menjadi suami Ratu Kidul. Senopati akhirnya setuju dengan syarat perkawinan itu tidak menghasilkan anak.
Perjanjian itu membuat Kraton Yogyakarta sebagai salah satu pecahan Mataram memiliki hubungan erat dengan istana laut selatan. Buktinya adalah dilaksanakannya upacara labuhan alit setiap tahun sebagai bentuk persembahan. Salah satu bagian dari prosesi labuhan, yaitu penguburan potongan kuku dan rambut serta pakaian Sultan berlangsung dalam areal Puri Cepuri. Anda bisa melihat kalender wisata Yogyakarta di YogYES.COM untuk bisa melihat proses labuhan ini.
Tapa Senopati yang membuahkan hasil juga membuat banyak orang percaya bahwa segala jenis permintaan akan terkabul bila mau memanjatkan permohonan di dekat Batu Cinta. Tak heran, ratusan orang tak terbatas kelas dan agama kerap mendatangi kompleks ini pada hari-hari yang dianggap sakral. Ziarah ke Batu Cinta diyakini juga dapat membantu melepaskan beban berat yang ada pada diri seseorang dan menumbuhkan kembali semangat hidup.
Selain melawati Batu Cinta dan melihat prosesi labuhan, anda juga bisa berkeliling pantai dengan naik kereta kuda. Anda akan diantar menuju setiap sudut Parangkusumo, dari sisi timur ke barat. Sambil naik kereta kuda, anda dapat menikmati pemandangan hempasan ombak besar dan desau angin yang semilir. Ongkos sewa kereta kuda dan kusir sendiri tak terlampau mahal, hanya Rp 20.000,00 untuk sekali keliling.
Bila lelah, Parangkusumo memiliki sejumlah warung yang menjajakan makanan. Banyaknya jumlah peziarah membuat wilayah pantai ini hampir selalu ramai dikunjungi, bahkan hingga malam hari. Cukup banyak pula para peziarah yang menginap di pantai ini untuk memanjatkan doa. Bagi anda yang ingin merasakan pengalaman spiritual di Parangkusumo bisa bergabung dengan para peziarah itu untuk bersama berdoa.
Naskah: Yunanto Wiji Utomo
Photo & Artistik: Agung Sulistiono Mabruron
Copyright © 2007 YogYES.COM

Pantai Siung

Pantai Siung terletak di sebuah wilayah terpencil di Kabupaten Gunung Kidul, tepatnya sebelah selatan kecamatan Tepus. Jaraknya sekitar 70 km dari pusat kota Yogyakarta, atau sekitar 2 jam perjalanan. Menjangkau pantai ini dengan sepeda motor atau mobil menjadi pilihan banyak orang, sebab memang sulit menemukan angkutan umum. Colt atau bis dari kota Wonosari biasanya hanya sampai ke wilayah Tepus, itupun mesti menunggu berjam-jam.
Stamina yang prima dan performa kendaraan yang baik adalah modal utama untuk bisa menjangkau pantai ini. Maklum, banyak tantangan yang mesti ditaklukkan, mulai dari tanjakan, tikungan tajam yang kadang disertai turunan hingga panas terik yang menerpa kulit saat melalui jalan yang dikelilingi perbukitan kapur dan ladang-ladang palawija. Semuanya menghadang sejak di Pathuk (kecamatan pertama di Gunung Kidul yang dijumpai) hingga pantainya.
Seolah tak ada pilihan untuk lari dari tantangan itu. Jalur Yogyakarta - Wonosari yang berlanjut ke Jalur Wonosari - Baron dan Baron - Tepus adalah jalur yang paling mudah diakses, jalan telah diaspal mulus dan sempurna. Jalur lain melalui Yogyakarta - Imogiri - Gunung Kidul memiliki tantangan yang lebih berat karena banyak jalan yang berlubang, sementara jalur Wonogiri - Gunung Kidul terlalu jauh bila ditempuh dari kota Yogyakarta.
Seperti sebuah ungkapan, "bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian", begitulah kiranya perjalanan ke Pantai Siung. Kesenangan, kelegaan dan kedamaian baru bisa dirasakan ketika telah sampai di pantai. Birunya laut dan putihnya pasir yang terjaga kebersihannya akan mengobati raga yang lelah.Tersedia sejumlah rumah-rumah kayu di pantai, tempat untuk bersandar dan bercengkrama sambil menikmati indahnya pemandangan.
Satu pesona yang menonjol dari Pantai Siung adalah batu karangnya. Karang-karang yang berukuran raksasa di sebelah barat dan timur pantai memiliki peran penting, tak cuma menjadi penambah keindahan dan pembatas dengan pantai lain. Karang itu juga yang menjadi dasar penamaan pantai, saksi kejayaan wilayah pantai di masa lampau dan pesona yang membuat pantai ini semakin dikenal, setidaknya di wilayah Asia.
Batu karang yang menjadi dasar penamaan pantai ini berlokasi agak menjorok ke lautan. Nama pantai diambil dari bentuk batu karang yang menurut Wastoyo, seorang sesepuh setempat, menyerupai gigi kera atau Siung Wanara. Hingga kini, batu karang ini masih bisa dinikmati keindahannya, berpadu dengan ombak besar yang kadang menerpanya, hingga celah-celahnya disusuri oleh air laut yang mengalir perlahan, menyajikan sebuah pemandangan dramatis.
Karang gigi kera yang hingga kini masih tahan dari gerusan ombak lautan ini turut menjadi saksi kejayaan wilayah Siung di masa lalu. Menurut cerita Wastoyo, wilayah Siung pada masa para wali menjadi salah satu pusat perdagangan di wilayah Gunung Kidul. Tak jauh dari pantai, tepatnya di wilayah Winangun, berdiri sebuah pasar. Di tempat ini pula, berdiam Nyai Kami dan Nyai Podi, istri abdi dalem Kraton Yogyakarta dan Surakarta.
Sebagian besar warga Siung saat itu berprofesi sebagai petani garam. Mereka mengandalkan air laut dan kekayaan garamnya sebagai sumber penghidupan. Garam yang dihasilkan oleh warga Siung inilah yang saat itu menjadi barang dagangan utama di pasar Winangun. Meski kaya beragam jenis ikan, tak banyak warga yang berani melaut saat itu. Umumnya, mereka hanya mencari ikan di tepian.
Keadaan berangsur sepi ketika pasar Winangun, menurut penuturan Wastoyo, diboyong ke Yogyakarta. Pasar pindahan dari Winangun ini konon di Yogyakarta dinamai Jowinangun, singkatan dari Jobo Winangun atau di luar wilayah Winganun. Warga setempat kehilangan mata pencaharian dan tak banyak lagi orang yang datang ke wilayah ini. Tidak jelas usaha apa yang ditempuh penduduk setempat untuk bertahan hidup.
Di tengah masa sepi itulah, keindahan batu karang Pantai Siung kembali berperan. Sekitar tahun 1989, grup pecinta alam dari Jepang memanfaatkan tebing-tebing karang yang berada di sebelah barat pantai sebagai arena panjat tebing. Kemudian, pada dekade 90-an, berlangsung kompetisi Asian Climbing Gathering yang kembali memanfaatkan tebing karang Pantai Siung sebagai arena perlombaan. Sejak itulah, popularitas Pantai Siung mulai pulih lagi.
Kini, sebanyak 250 jalur pemanjatan terdapat di Pantai Siung, memfasilitasi penggemar olah raga panjat tebing. Jalur itu kemungkinan masih bisa ditambah, melihat adanya aturan untuk dapat meneruskan jalur yang ada dengan seijin pembuat jalur sebelumnya. Banyak pihak telah memanfaatkan jalur pemanjatan di pantai ini, seperti sekelompok mahasiswa dari Universitas Negeri Yogyakarta yang tengah bersiap melakukan panjat tebing ketika YogYES mengunjungi pantai ini.
Fasilitas lain juga mendukung kegiatan panjat tebing adalah ground camp yang berada di sebelah timur pantai. Di ground camp ini, tenda-tenda bisa didirikan dan acara api unggun bisa digelar untuk melewatkan malam. Syarat menggunakannya hanya satu, tidak merusak lingkungan dan mengganggu habitat penyu, seperti tertulis dalam sebuah papan peringatan yang terdapat di ground camp yang juga bisa digunakan bagi yang sekedar ingin bermalam.
Tak jauh dari ground camp, terdapat sebuah rumah panggung kayu yang bisa dimanfaatkan sebagai base camp, sebuah pilihan selain mendirikan tenda. Ukuran base camp cukup besar, cukup untuk 10 - 15 orang. Bentuk rumah panggung membuat mata semakin leluasa menikmati keeksotikan pantai. Cukup dengan berbicara pada warga setempat, mungkin dengan disertai beberapa rupiah, base camp ini sudah bisa digunakan untuk bermalam.
Saat malam atau kala sepi pengunjung, sekelompok kera ekor panjang akan turun dari puncak tebing karang menuju pantai. Kera ekor panjang yang kini makin langka masih banyak dijumpai di pantai ini. Keberadaan kera ekor panjang ini mungkin juga menjadi salah satu alasan mengapa batu karang yang menjadi dasar penamaan dipadankan bentuknya dengan gigi kera, bukan jenis hewan lainnya.
Wastoyo mengungkapkan, berdasarkan penuturan para winasih (orang-orang yang mampu membaca masa depan), Pantai Siung akan rejomulyo atau kembali kejayaannya dalam waktu yang tak lama lagi. Semakin banyaknya pengunjung dan popularitasnya sebagai arena panjat tebing menjadi salah satu pertanda bahwa pantai ini sedang menuju kejayaan. Kunjungan wisatawan, termasuk anda, tentu akan semakin mempercepat teraihnya kejayaan itu.
Naskah: Yunanto Wiji Utomo
Photo & Artistik: Agung Sulistiono Mabruron
Copyright © 2007 YogYES.COM

Istana Ratu Boko

Istana Ratu Boko adalah sebuah bangunan megah yang dibangun pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran, salah satu keturunan Wangsa Syailendra. Istana yang awalnya bernama Abhayagiri Vihara (berarti biara di bukit yang penuh kedamaian) ini didirikan untuk tempat menyepi dan memfokuskan diri pada kehidupan spiritual. Berada di istana ini, anda bisa merasakan kedamaian sekaligus melihat pemandangan kota Yogyakarta dan Candi Prambanan dengan latar Gunung Merapi.
Istana ini terletak di 196 meter di atas permukaan laut. Areal istana seluas 250.000 m2 terbagi menjadi empat, yaitu tengah, barat, tenggara, dan timur. Bagian tengah terdiri dari bangunan gapura utama, lapangan, Candi Pembakaran, kolam, batu berumpak, dan Paseban. Sementara, bagian tenggara meliputi Pendopo, Balai-Balai, 3 candi, kolam, dan kompleks Keputren. Kompleks gua, Stupa Budha, dan kolam terdapat di bagian timur. Sedangkan bagian barat hanya terdiri atas perbukitan.
Bila masuk dari pintu gerbang istana, anda akan langsung menuju ke bagian tengah. Dua buah gapura tinggi akan menyambut anda. Gapura pertama memiliki 3 pintu sementara gapura kedua memiliki 5 pintu. Bila anda cermat, pada gapura pertama akan ditemukan tulisan 'Panabwara'. Kata itu, berdasarkan prasasti Wanua Tengah III, dituliskan oleh Rakai Panabwara, (keturunan Rakai Panangkaran) yang mengambil alih istana. Tujuan penulisan namanya adalah untuk melegitimasi kekuasaan, memberi 'kekuatan' sehingga lebih agung dan memberi tanda bahwa bangunan itu adalah bangunan utama.
Sekitar 45 meter dari gapura kedua, anda akan menemui bangungan candi yang berbahan dasar batu putih sehingga disebut Candi Batu Putih. Tak jauh dari situ, akan ditemukan pula Candi Pembakaran. Candi itu berbentuk bujur sangkar (26 meter x 26 meter) dan memiliki 2 teras. Sesuai namanya, candi itu digunakan untuk pembakaran jenasah. Selain kedua candi itu, sebuah batu berumpak dan kolam akan ditemui kemudian bila anda berjalan kurang lebih 10 meter dari Candi Pembakaran.
Sumur penuh misteri akan ditemui bila berjalan ke arah tenggara dari Candi Pembakaran. Konon, sumur tersebut bernama Amerta Mantana yang berarti air suci yang diberikan mantra. Kini, airnya pun masih sering dipakai. Masyarakat setempat mengatakan, air sumur itu dapat membawa keberuntungan bagi pemakainya. Sementara orang-orang Hindu menggunakannya untuk Upacara Tawur agung sehari sebelum Nyepi. Penggunaan air dalam upacara diyakini dapat mendukung tujuannya, yaitu untuk memurnikan diri kembali serta mengembalikan bumi dan isinya pada harmoni awalnya. YogYES menyarankan anda berkunjung ke Candi Prambanan sehari sebelum Nyepi jika ingin melihat proses upacaranya.
Melangkah ke bagian timur istana, anda akan menjumpai dua buah gua, kolam besar berukuran 20 meter x 50 meter dan stupa Budha yang terlihat tenang. Dua buah gua itu terbentuk dari batuan sedimen yang disebut Breksi Pumis. Gua yang berada lebih atas dinamakan Gua Lanang sedangkan yang berada di bawah disebut Gua Wadon. Persis di muka Gua Lanang terdapat sebuah kolam dan tiga stupa. Berdasarkan sebuah penelitian, diketahui bahwa stupa itu merupakan Aksobya, salah satu Pantheon Budha.
Meski didirikan oleh seorang Budha, istana ini memiliki unsur-unsur Hindu. Itu dapat dilihat dengan adanya Lingga dan Yoni, arca Ganesha, serta lempengan emas yang bertuliskan "Om Rudra ya namah swaha" sebagai bentuk pemujaan terhadap Dewa Rudra yang merupakan nama lain Dewa Siwa. Adanya unsur-unsur Hindu itu membuktikan adanya toleransi umat beragama yang tercermin dalam karya arsitektural. Memang, saat itu Rakai Panangkaran yang merupakan pengikut Budha hidup berdampingan dengan para pengikut Hindu.
Sedikit yang tahu bahwa istana ini adalah saksi bisu awal kejayaan di tanah Sumatera. Balaputradewa sempat melarikan diri ke istana ini sebelum ke Sumatera ketika diserang oleh Rakai Pikatan. Balaputradewa memberontak karena merasa sebagai orang nomor dua di pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno akibat pernikahan Rakai Pikatan dengan Pramudhawardani (saudara Balaputradewa. Setelah ia kalah dan melarikan diri ke Sumatera, barulah ia menjadi raja di Kerajaan Sriwijaya.
Sebagai sebuah bangunan peninggalan, Istana Ratu Boko memiliki keunikan dibanding peninggalan lain. Jika bangunan lain umumnya berupa candi atau kuil, maka sesuai namanya istana ini menunjukkan ciri-ciri sebagai tempat tinggal. Itu ditunjukkan dari adanya bangunan berupa tiang dan atap yang terbuat dari bahan kayu, meski kini yang tertinggal hanya batur-batur dari batu saja. Telusurilah istana ini, maka anda akan mendapatkan lebih banyak lagi, salah satunya pemandangan senja yang sangat indah. Seorang turis asal Amerika Serikat mengatakan, "Inilah senja yang terindah di bumi."
Naskah: Yunanto Wiji Utomo