EPL info

PRIMERA DIVISION info

ISL info

BUNDESLIGA info

SERIE A info

Jumat, 27 Agustus 2010

integrasi & disintegrasi


1. Integrasi
Proses integrasi atau penyatuan sosial terjadi jika perubahan sosial itu membawa unsurunsur yang cocok dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Penambahan unsurunsur baru di dalam proses perubahan itu menyatu di dalam kerangka kepentingan struktur sosial yang ada. Sikap yang diambil oleh anggota masyarakat dan struktur sosial yang ada adalah sikap adopsi atau menerima unsur baru sebagai bagian dari sistem yang sudah ada. Bahkan, dalam beberapa kasus dapat terjadi bahwa unsur baru tersebut justru menghidupkan atau memberi kekuatan baru bagi berkembangnya unsur yang sudah ada atau disebut revitalisasi. Ada beberapa kelompok sosial misalnya, yang secara positif menerima kegiatan pariwisata karena dapat menghidupkan kembali kebudayaan tradisional yang hampir punah akibat adanya kegiatan pariwisata tersebut.
Proses integrasi dapat terjadi pula melalui cara interseksi berbagai struktur sosial yang berbeda dalam satu kesatuan sosial. Perubahan sosial tidak selamanya membawa pengaruh pada pemisahan hubungan sosial tetapi bisa jadi sebaliknya dapat memperumit keterkaitan hubungan antara kelompok-kelompok yang ada.
2. Disintegrasi
Kegagalan suatu masyarakat dalam melakukan langkah penyesuaian dapat menimbulkan disintegrasi dalam kehidupan masyarakat tersebut. Disintegrasi yang dimaksud dapat berwujud dalam berbagai bentuk, seperti pemberontakan, demonstrasi, kriminalitas, kenakalan remaja, prostitusi, dan lain sebagainya.
a. Pergolakan di daerah
Negara-negara yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas dengan jumlah penduduk yang majemuk seperti Indonesia, Uni Sovyet (sekarang Rusia), Yugoslavia, India, Srilanka, Irlandia, India, Afganistan, dan sebagainya pernah memiliki pengalaman akan adanya pergolakan di daerah kekuasaannya. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa Uni Sovyet kini telah hancur akibat glasnost dan perestroika. Bahkan, beberapa bekas wilayah Uni Sovyet, seperti Tajikistan, Turkmenistan, dan Kazakhstan kini telah merdeka sebagai negara yang berdaulat. Sementara itu, Rusia sampai saat ini belum berhasil menuntaskan pemberontakan warga muslim Chechnya. Beberapa wilayah di semenanjung Balkan kini telah berhasil memerdekakan diri dari Yugoslavia. Srilanka sampai saat ini masih disibukkan oleh pemberontakan Macan Tamil. India dan Pakistan masih dalam sengketa memperdebatkankan wilayah kashmir yang mayoritas berpenduduk muslim. Masih banyak lagi kejadian-kejadian serupa yang menimpa berbagai negara di dunia.
Indonesia, dengan wilayah yang sangat luas dan terdiri atas ribuan pulau, dengan kondisi penduduk yang sangat majemuk sudah barang tentu tidak dapat lepas dari problem pergolakan di daerah. Pergolakan-pergolakan yang terjadi di beberapa wilayah, seperti di Aceh dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)-nya, di Irianjaya (sekarang Papua) dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM)-nya, di Maluku dengan Republik Maluku Selatan (RMS)-nya, pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pergolakan yang telah terjadi sejak zaman Orde Lama. Seperti yang diketahui bahwa sejak proklamasi kemerdekaan negara RepublikIndonesia sampai sekarang terdapat beberapa pergolakan yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Pemberontakan PKI-Madiun
Pemberontakan PKI-Madiun yang dipimpin oleh Moeso, Amir Syarifuddin, dan beberapa tokoh PKI lainnya ditandai dengan diproklamasikannya Negara Sovyet Republik Indonesiadi Madiun pada tanggal 18 September 1948. Pemberontakan PKI-Madiun lebih didorong oleh keinginan segelintir orang Indonesia yang berhaluan sosialis-komunis untuk mendirikan negara yang berdasarkan atas ideologi komunis. Dalam waktu 12 hari, pemberontakan PKI-Madiun berhasil ditumpas oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI).
2. Gerakan DI/TII
Selain karena adanya perbedaan ideologis, yakni ingin mendirikan negara Indonesia yang berdasarkan atas ajaran agama Islam, gerakan DI/TII juga dipicu oleh kekecewaan terhadap isi perjanjian Renville yang dipandang sangat merugikan pihak RI. Sebagaimana yang diketahui, pasukan Hisbullah dan Sabilillah yang dipimpin oleh Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo tidak bersedia meninggalkan wilayah Jawa Barat bersama-sama dengan pasukan Divisi Siliwangi lainnya. Bahkan pada tanggal 7 Agustus 1949, Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) yang berpusat di Malangbong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Pengaruh Gerakan DI/TII meluas di berbagai daerah di Indonesia seperti di daerah Kebumen (Jawa Tengah yang dipimpin oleh Amir Fattah dan Kyai Mohammad Mahfudz Abdurrahman, di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar, di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Kahar Muzakar, dan di Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureuh.
3. Pemberontakan Andi Azis
Pemberontakan Andi Azis dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mempertahankan  kedudukan Negara Indonesia Timur yang dibentuk oleh Belanda. Pemberontakan tersebut dilancarkan sekitar bulan April 1950 melalui perlawanan bersenjata dan sekaligus mengeluarkan pernyataan-pernyataan melalui surat kabar. Adapun isi pernyataan tersebut adalah sebagai berikut: (1) Negara Indonesia Timur (NIT) harus dipertahankan supaya tetap berdiri, (2) pasukan KNIL yang telah masuk APRIS sajalah yang bertanggung jawab atas keamanan daerah NIT, dan 93) Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Hatta hendaknya tidak menghalangi tetap berdirinya NIT dengan cara kekerasan.
4. Republik Maluku Selatan (RMS)
Republik Maluku Selatan (RMS) merupakan sebuah negara yang dicita-citakan oleh Dr. Soumokil (bekas Jaksa Agung NIT). Dengan demikian RMS merupakan sebuah gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Gerakan RMS dapat ditumpas oleh pasukan TNI sekitar bulan Desember 1963.
5. Peristiwa PRRI/Permesta
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) merupakan sebuah gerakan separatis yang diawali dengan berdirinya dewan-dewan di berbagai daerah, yakni Dewan Gajah yang berdiri pada tanggal 20 Desember 1956 di Medan dipimpin oleh Letkol M. Simbolon, Dewan Banteng yang berdiri pada tanggal 22 Desember 1956 di Padang dipimpin oleh Letkol Achmad Husein, Dewan Lambung Mangkurat yang didirikan oleh Letkol Vantje Sumual di Kalimantan Selatan. Keberadaan dewan- dewan tersebut diperkuat dengan adanya Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) yang dideklarasikan di Makasar pada tanggal 2 Maret 1957. Dewan-dewan tersebut menjadi cikal bakal diproklamasikannya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia(PRRI) pada tanggal 17 Pebruari 1958 dengan Mr. Syafrudin Prawiranegara sebagai perdana menterinya.
Memperhatikan berbagai pergolakan di berbagai daerah di Indonesia sebagaimana yang disebutkan di atas, Koentjaraningrat menyebutkan adanya beberapa sebab, yaitu: (1) terjadinya masa transisi dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1951, (2) adanya demobilisasi kelompok-kelompok gerilya Indonesia dan adanya bekas-bekas tentara Belanda (KNIL), (3) adanya revolusi yang dilakukan untuk menggantikan ideologi Pancasila, seperti Pemberontakan PKI-Madiun dan DI/TII, dan (4) terlalu tersentralisasinya perekonomian Indonesia selama sepuluh tahun pertama sejak Indonesia merdeka.
b. Demonstrasi
Berbagai media massa belakangan ini sering menayangkan aksi demonstrasi. Pada dasarnya demonstrasi merupakan kegiatan unjuk rasa dari sekelompok orang yang terorganisir untuk menyatakan ketidakpuasan atau kekecewaan terhadap kebijakan suatu pimpinan atau suatu rezim pemerintahan, baik kebijakan yang telah maupun yang sedang dilaksanakan. Lazimnya, demonstrasi dilaksanakan oleh sekelompok orang yang beranggapan bahwa di dalam kehidupan masyarakat terdapat kesenjangan antara sesuatu yang diinginkan dengan kenyataan yang terjadi, baik yang menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, pendidikan, dan lain sebagainya.
Demonstrasi merupakan suatu cara yang ditempuh oleh masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan tertentu. Demonstrasi tersebut dilaksanakan manakala masyarakat tidak memiliki cara lain untuk mencari solusi dari permasalahan yang berkembang melainkan melalui demonstrasi. Misalnya, berbagai musyawarah yang ditempuh hanya menemui jalan buntu. Perlu diketahui bahwa demonstrasi tidak sama artinya dengan perbuatan vandalisme, anarkhisme, atau brutalisme. Penyampaian tuntutan dan aspirasi dalam demonstrasi dilaksanakan dengan menggunakan berbagai cara seperti meneriakkan yel-yel, membuat poster-poster, pembacaan puisi, menyanyikan lagu-lagu tertentu, membuat slogan- slogan, membuat pernyataan tertulis, dan lain sebagainya. Namun, demonstrasi akan berubah menjadi vandalisme, anarkhisme, dan brutalisme mana kala para demonstran mulai meneriakkan sumpah serapah yang berupa umpatan-umpatan atau caci maki yang memancing emosi massa, baik masyarakat umum maupun petugas keamanan.
Demonstrasi memang memiliki dampak positif, yakni merupakan suatu bentuk tekanan (pressure) dan sekaligus merupakan suatu alat pengendali sosial (Sosial control) yang efektif. Namun demikian, selama masih ada cara lain yang dapat ditempuh, sedapat mungkin aksi demonstrasi dihindari. Sikap tersebut diperlukan mengingat aksi demonstrasi yang mengerahkan kekuatan massa sering menciptakan gangguan-gangguan dalam kehidupan  masyarakat, seperti kemacetan lalu lintas, kebisingan, polusi suara, dan lain sebagainya. Demonstrasi juga dapat menimbulkan keretakan dalam hubungan-hubungan sosial, terutamaantara pihak demonstran dengan pihak yang didemo sebagai akibat dari sikap pro dan kontra yang berkembang antara kedua belah pihak.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bangsa Indonesia tidak terlepas dari aksi demonstrasi. Aksi-aksi demonstrasi tersebut dapat diperhatikan antara lain: (1) pada periode tahun 60-an, yakni ketika rakyat dan mahasiswa melancarkan aksi Tritura, (2) pada periode tahun 80-an, yakni ketika sebagian masyarakat Indonesia melancarkan aksi penolakan terhadap masuknya produk-produk asing, dan (3) aksi-aksi yang dilancarkan oleh masyarakat Indonesia sepanjang pertengahan tahun 1999 sampai sekarang untuk menuntut penyelenggaraan pemerintahan negara yang bersih dan bertanggung jawab. Aksi-aksi lainnya seperti aksi kaum buruh kepada majikannya, aksi masyarakat kepada kinerja dewan yang dianggap tidak memuaskan, dan lain sebagainya.
c. Kriminalitas
Kriminalitas merupakan perilaku kejahatan yang terjadi dan sekaligus sangat meresahkan kehidupan masyarakat. Banyak sekali faktor yang mendorong terjadinya kriminalitas atau kejahatan sosial. Dalam hal ini, E.H. Sutherland berpandangan bahwa kriminalitas atau kejahatan merupakan hasil dari proses-proses dalam kehidupan masyarakat seperti imitasi, identifikasi, pembentukan konsep diri (self-conception), pelaksanaan peranan sosial, asosiasi diferensial, maupun kekecewaan-kekecewaan yang agresif. Dengan demikian kriminalitas atau kejahatan terjadi sebagai hasil dari interaksi seseorang atau sekelompok orang dengan seseorang atau sekelompok orang yang berperilaku menyimpang. Pemicu kriminalitas atau kejahatan sosial adalah adanya tekanan-tekanan mental, baik yang bersifat ekonomi maupun sosial yang memberikan beban psikologis yang berat.
Dari sekian banyak bentuk kriminalitas yang ada, white-collar crime (kejahatan kerah putih) yakni aksi-aksi kejahatan yang dilakukan oleh para penguasa maupun para pengusaha ketika menjalankan peran sosialnya. Sesuai dengan status sosial yang disandang, para pelaku white-collar crime (kejahatan kerah putih) merupakan orang yang memegang posisi dan kedudukan yang sangat kuat, baik dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang politik. Para pelaku white-collar crime (kejahatan kerah putih) tersebut seolah-olah tidak takut terhadap hukum karena hukum dapat dibeli dengan uang dan kekuasaan yang dimilikinya. Berbeda dengan para pelaku kejahatan lain yang pada umumnya tertekan secara ekonomi, para pelaku white-collar crime (kejahatan kerah putih) pada umumnya memiliki latar belakang ekonomi yang mapan. Keadaan tersebut memungkinkan terjadinya sikap pemanjaan dalam pola asuh sehingga berkembang pribadi yang sulit mengendalikan keinginan sehubungan dengan lemahnya prinsip moral yang diajarkan. Bentuk-bentuk white-collar crime (kejahatan kerah putih) adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kejahatan-kejahatan serupa itulah yang saat ini sedang melanda kehidupan bangsa Indonesia.
d. Kenakalan Remaja
Dalam kehidupan bermasyarakat terlihat bahwa kenakalan remaja dapat terjadi di kalangan masyarakat kaya maupun di kalangan masyarakat miskin. Kenakalan remaja juga dapat terjadi dalam kehidupan masyarakat pedesaan maupun dalam kehidupan masyarakat perkotaan. Pada umumnya kenakalan remaja tersebut dapat terjadi karena beberapa hal, seperti: (1) penanaman sistem nilai dan sistem norma (sense of value) yang lemah, (2) berkembangnya organisasi-organisasi nonformal yang berperilaku menyimpang sehingga tidak diinginkan dalam kehidupan masyarakat, dan (3) adanya keinginan untuk mengubah keadaan disesuaikan dengan perkembangan-perkembangan baru (youth values). Secara psikologis usia remaja merupakan usia di mana para remaja sedang mencari identitas diri. Dengan demikian, secara kejiwaan para remaja berada dalam kondisi yang labil, dalam arti, para remaja belum menemukan jati diri kepribadiannya secara mantap.
Di sinilah arti penting pendidikan sebagai usaha untuk membimbing manusia menuju kedewasaan, yakni menuju penemuan jati diri sebagai manusia. Menurut pengamatan, pada masyarakat pedesaan, terutama yang terjadi pada keluarga-keluarga miskin, kenakalan remaja yang terjadi setidaknya disebabkan oleh tiga faktor, yaitu: (1) keberhasilan pemerintah dalam pembangunan telah membawa konsekuensi logis pada derasnya arus informasi, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri, baik yang bersifat konstruktif maupun yang bersifat destruktif, sedangkan para remaja belum memiliki kepribadian yang mantap, (2) kondisi keluarga yang serba kekurangan telah mendorong para remaja untuk mencari kegiatan-kegiatan alternatif yang dianggap mengasyikkan tetapi sekaligus sangat menjerumuskan kepribadian mereka., dan (3) banyaknya keluarga-keluarga pedesaan yang merantau ke perkotaan (urbanisasi) sehingga membawa konsekuensi logis pada kurangnya pengawasan dan sekaligus kurangnya pendidikan yang diselenggarakan di lingkungan keluarga.
Adapun kenakalan remaja yang terjadi pada masyarakat perkotaan, terutama pada keluarga- keluarga kaya, persoalannya terletak pada kesibukan orang tua yang terlalu bersemangat dalam meniti karier, baik dalam organisasi, pekerjaan, maupun bisnis sehingga kurang ada kesempatan untuk memperhatikan perkembangan anak-anak mereka. Kondisi keluarga seperti itu pada umumnya memberikan kepuasan secara material kepada anak-anak mereka, sedangkan kenyamanan psikologis tidak diberikan secara layak. Keadaan seperti inilah yang menyebabkan para remaja di perkotaan mengalami kejenuhan sehingga mencari pelampiasan untuk membunuh rasa jenuh dengan menggunakan segala macam fasilitas material yang diberikan oleh orang tua mereka.
Bentuk-bentuk kenakalan remaja pada umumnya berbentuk perkumpulan-perkumpulan remaja yang suka bikin onar yang berupa cross-boy/cross-girl. Adapun beberapa kegiatan yang terjadi sehubungan dengan kenakalan remaja tersebut di antaranya adalah pencurian, pencopetan, penganiayaan, penodongan, pornografi yang dilanjutkan dengan perbuatan asusila, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, pelanggaran tata tertib lalu lintas, dan lain sebagainya.
e. Prostitusi
Istilah prostitusi, atau lebih populer dengan istilah pelacuran, merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dengan cara menawarkan dirinya kepada masyarakat umum untuk melakukan aktivitas seksual di luar nikah dengan imbalan berupa upah sesuai dengan kesepakatan yang dibuat. Prostitusi atau pelacuran merupakan salah satu bentuk perbuatan asusila karena berlawanan dengan norma agama, norma hukum, dan norma adat. Namun demikian, tidak sedikit masyarakat, baik yang berasal dari keluarga kaya maupun dari kalangan keluarga miskin, yang terjerumus dalam kegiatan asusila tersebut. Sehubungan dengan masalah tersebut, Soerjono Soekanto memberikan penjelasan adanya dua hal yang menyebabkan terjadinya prostitusi dalam kehidupan masyarakat, yaitu :
1. Faktor internal, yakni faktor-faktor yang berasal dari dalam diri pelaku prostitusi (pelacur) tersebut, seperti dorongan seksual yang tinggi, sifat malas untuk bekerja, dan keinginan untuk menikmati kemewahan dunia (hedonisme), dan lain sebagainya.
2. Faktor eksternal, yakni faktor-faktor yang berasal dari luar diri pelaku prostitusi (pelacur) tersebut, seperti kondisi ekonomi yang memprihatinkan, kondisi perumahan yang tidak memenuhi syarat, kegiatan urbanisasi yang tidak terkendali, dan lain sebagainya.
Dewasa ini prostitusi (pelacuran) berkembang menjadi masalah nasional. Bahkan, di berbagai daerah, seperti di kota Surabaya, Jakarta, Bandung, dan lain sebagainya para pelaku prostitusi (pelacur) telah mengorganisasikan kelompok mereka untuk melakukan aksi demonstrasi menentang peraturan-peraturan yang sengaja diciptakan untuk menertibkan kehidupan mereka. Dengan demikian, para pelaku asusila tersebut secara terang-terangan minta keberadaan mereka diakui secara syah oleh pemerintah. Keadaan tersebut merupakan suatu ironi dan sekaligus merupakan masalah kemanusiaan yang harus mendapat perhatian sebagaimana mestinya.
Sumber :
Widianti, Wida, 2009, Sosiologi 3 : untuk SMA dan MA Kelas XII IPS, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, h. 13 – 20.

PENGENDALIAN ATAU KONTROL SOSIAL

A. PENGENDALIAN SOSIAL
Dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang semua anggota masyarakat bersedia menaati aturan yang berlaku, hampir bisa dipastikan kehidupan bermasyarakat akan bisa berlangsung dengan lancar dan tertib. Tetapi, berharap semua anggota masyarakat bisa berperilaku selalu taat, tentu merupakan hal yang mahal. Di dalam kenyataan, tentu tidak semua orang akan selalu bersedia dan bisa memenuhi ketentuan atau aturan yang berlaku dan bahkan tidak jarang ada orang-orang tertentu yang sengaja melanggar aturan yang berlaku untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Secara rinci, beberapa faktor yang menyebabkan warga masyarakat berperilaku menyimpang dari norma-norma yang berlaku adalah sebagai berikut ( Soekanto, 181:45)
1. Karena kaidah-kaidah yang ada tidak memuaskan bagi pihak tertentu atau karena tidah memenuhi kebutuhan dasarnya.
2. Karena kaidah yang ada kurang jelas perumusannya sehingga menimbulkan aneka penafsiran dan penerapan.
3. Karena di dalam masyarakat terjadi konflik antara peranan-peranan yang dipegang warga masyarakat, dan
4. Karena memang tidak mungkin untuk mengatur semua kepentingan warga masyarakat secara merata.
Pada situasi di mana orang memperhitungkan bahwa dengan melanggar atau menyimpangi sesuatu norma dia malahan akan bisa memperoleh sesuatu reward atau sesuatu keuntungan lain yang lebih besar, maka di dalam hal demikianlah enforcement demi tegaknya norma lalu terpaksa harus dijalankan dengan sarana suatu kekuatan dari luar. Norma tidak lagi self-enforcing (norma-norma sosial tidak lagi dapat terlaksana atas kekuatannya sendiri ), dan akan gantinya harus dipertahankan oleh petugas-petugas kontrol sosial dengan cara mengancam atau membebankan sanksi-sanksi kepada mereka-mereka yang terbukti melanggar atau menyimpangi norma.
Apabila ternyata norma-norma tidak lagi self-enforcement dan proses sosialisasi tidak cukup memberikan efek-efek yang positif, maka masyarakat – atas dasar kekuatan otoritasnya – mulai bergerak melaksanakan kontrol sosial (social control).
Menurut Soerjono Soekanto, pengendalian sosial adalah suatu proses baik yang direncanakan atau tidak direncanakan, yang bertujuan untuk mengajak, membimbing atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku.
Obyek (sasaran) pengawasan sosial, adalah perilaku masyarakat itu sendiri. Tujuan pengawasan adalah supaya kehidupan masyarakat berlangsung menurut pola-pola dan kidah-kaidah yang telah disepakati bersama. Dengan demikian, pengendalian sosial meliputi proses sosial yang direncanakan maupun tidak direncanakan (spontan) untuk mengarahkan seseorang. Juga pengendalian sosiap pada dasarnya merupakan sistem dan proses yang mendidik, mengajak dan bahkan memaksa warga masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma sosial.
1. Sistem mendidik dimaksudkan agar dalam diri seseorang terdapat perubahan sikap dan tingkah laku untuk bertindak sesuai dengan norma-norma.
2. Sistem mengajak bertujuan mengarahkan agar perbuatan seseorang didasarkan pada norma-norma, dan tidak menurut kemauan individu-individu.
3. Sistem memaksa bertujuan untuk mempengaruhi secara tegas agar seseorang bertindak sesuai dengan norma-norma. Bila ia tidak mau menaati kaiah atau norma, maka ia akan dikenakan sanksi.
Dalam pengendalian sosial kita bisa melihat pengendalian sosial berproses pada tiga pola yakni :
1. Pengendalian kelompok terhadap kelompok
2. Pengendalian kelompok terhadap anggota-anggotanya
3. Pengendalian pribadi terhadap pribadi lainnya.

B. JENIS-JENIS PENGENDALIAN SOSIAL
Pengendalian sosial dimaksudkan agar anggota masyarkat mematuhi norma-norma sosial sehingga tercipta keselarasan dalam kehidupan sosial. Untuk maksud tersebut, dikenal beberapa jenis pengendalian. Penggolongan ini dibuat menurut sudut pandang dari mana seseorang melihat pengawasan tersebut.
a. Pengendalian preventif merupakan kontrol sosial yang dilakukan sebelum terjadinya pelanggaran atau dalam versi ”mengancam sanksi” atau usaha pencegahan terhadap terjadinya penyimpangan terhadap norma dan nilai. Jadi, usaha pengendalian sosial yang bersifat preventif dilakukan sebelum terjadi penyimpangan.
b. Pengendalian represif ; kontrol sosial yang dilakukan setelah terjadi pelanggaran dengan maksud hendak memulihkan keadaan agar bisa berjalan seperti semula dengan dijalankan di dalam versi “menjatuhkan atau membebankan, sanksi”. Pengendalian ini berfungsi untuk mengembalikan keserasian yang terganggu akibat adanya pelanggaran norma atau perilaku meyimpang. Untuk mengembalikan keadaan seperti semula, perlu diadakan pemulihan. Jadi, pengendalian disini bertujuan untuk menyadarkan pihak yang berperilaku menyimpang tentang akibat dari penyimpangan tersebut, sekaligus agar dia mematuhi norma-norma sosial.
c. Pengendalian sosial gabungan merupakan usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyimpangan (preventif) sekaligus mengembalikan penyimpangan yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial (represif). Usaha pengendalian dengan memadukan ciri preventif dan represif ini dimaksudkan agar suatu perilaku tidak sampai menyimpang dari norma-norma dan kalaupun terjadi penyimpangan itu tidak sampai merugikan yang bersangkutan maupun orang lain.
d. Pengendalian resmi (formal) ialah pengawasan yang didasarkan atas penugasan oleh badan-badan resmi, misalnya negara maupun agama.
e. Pengawasan tidak resmi (informal) dilaksanakan demi terpeliharanya peraturan-peraturan yang tidak resmi milik masyarakat. Dikatakan tidak resmi karena peraturan itu sendiri tidak dirumuskan dengan jelas, tidak ditemukan dalam hukum tertulis, tetapi hanya diingatkan oleh warga masyarakat.
f. Pengendalian institusional ialah pengaruh yang datang dari suatu pola kebudayaan yang dimiliki lembaga (institusi) tertentu. Pola-pola kelakuan dan kiadah-kaidah lembaga itu tidak saja mengontrol para anggota lembaga, tetapi juga warga masyarakat yang berada di luar lembaga tersebut.
g. Pengendalian berpribadi ialah pengaruh baik atau buruk yang datang dari orang tertentu. Artinya, tokoh yang berpengaruh itu dapat dikenal. Bahkan silsilah dan riwayat hidupnya, dan teristimewa ajarannya juga dikenal.

C. CARA DAN FUNGSI PENGENDALIAN SOSIAL
Pengendalian sosial dapat dilaksanakan melalui :
1. Sosialisasi
Sosialisasi dilakukan agar anggota masyarkat bertingkah laku seperti yang diharapkan tanpa paksaan. Usaha penanaman pengertian tentang nilai dan norma kepada anggota masyarakat diberikan melakui jalur formal dan informal secara rutin.
2. Tekanan Sosial
Tekanan sosial perlu dilakukan agar masyarakat sadar dan mau menyesuaikan diri dengan aturan kelompok. Masyarakat dapat memberi sanksi kepada orang yang melanggar aturan kelompok tersebut.
Pengendalian sosial pada kelompok primer (kelompok masyarkat kecil yang sifatnya akrab dan informal seperti keluarga, kelompok bermain, klik ) biasanya bersifat informal, spontan, dan tidak direncanakan, biasanya berupa ejekan, menertawakan, pergunjingan (gosip) dan pengasingan.
Pengendalian sosial yang diberikan kepada kelompok sekunder (kelompok masyarkat yang lebih besar yang tidak bersifat pribadi (impersonal) dan mempunyai tujuan yang khusus seperti serikat buruh, perkumpulan seniman, dan perkumpulan wartawan ) lebih bersifat formal. Alat pengendalian sosial berupa peraturan resmi dan tata cara yang standar, kenaikan pangkat, pemberian gelar, imbalan dan hadiah dan sanksi serta hukuman formal.
3. Kekuatan dan kekuasaan dalam bentuk peraturan hukum dan hukuman formal
Kekuatan da kekuasaan akan dilakukan jika cara sosialisasi dan tekanan sosial gagal. Keadaan itu terpaksa dipergunakan pada setiap masyarakat untuk mengarahkan tingkah laku dalam menyesuaikan diri dengan nilai dan norma sosial.

Disamping cara di atas juga agar proses pengendalian berlangsung secara efektif dan mencapai tujuan yang diinginkan, perlu dberlakukan cara-cara tertentu sesuai dengan kondisi budaya yang berlaku.
a. Pengendalian tanpa kekerasan (persuasi); bisasanya dilakukan terhadap yang hidup dalam keadaan relatif tenteram. Sebagian besar nilai dan norma telah melembaga dan mendarah daging dalam diri warga masyarakat.
b. Pengendalian dengan kekerasan (koersi) ; biasanya dilakukan bagi masyarakat yang kurang tenteram, misalnya GPK (Gerakan Pengacau Keamanan).
Jenis pengendalian dengan kekerasan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni kompulsi dan pervasi.
1) Kompulsi (compulsion) ialah pemaksaan terhadap seseorang agar taat dan patuh tehadap norma-norma sosial yang berlaku.
2) Pervasi ( pervasion ) ialah penanaman norma-norma yang ada secara berulang -ulang dengan harapan bahwa hal tersebut dapat masuk ke dalam kesadaran seseorang. Dengan demikian, orang tadi akan mengubah sikapnya. Misalnya, bimbingan yang dilakukan terus menerus.

2. Fungsi Pengendalian Sosial
Koentjaraningrat menyebut sekurang-kurangnya lima macam fungsi pengendalian sosial, yaitu :
a. Mempertebal keyakinan masyarakat tentang kebaikan norma.
b. Memberikan imbalan kepada warga yang menaati norma.
c. Mengembangkan rasa malu
d. Mengembangkan rasa takut
e. Menciptakan sistem hukum

Kontrol sosial – di dalam arti mengendalikan tingkah pekerti-tingkah pekerti warga masyarakat agar selalu tetap konform dengan keharusan-keharusan norma-hampir selalu dijalankan dengan bersarankan kekuatan sanksi (sarana yang lain:pemberian incentive positif). Adapun yang dimaksud dengan sanksi dalam sosiologi ialah sesuatu bentuk penderitaan yang secara sengaja dibebankan oleh masyarakat kepada seorang warga masy arakat yang terbukti melanggar atau menyimpangi keharusan norma sosial, dengan tujuan agar warga masyarakat ini kelak tidak lagi melakukan pelanggaran dan penyimpangan terhadap norma tersebut.
Ada tiga jenis sanksi yang digunakan di dalam usaha-usaha pelaksanaan kontrol sosial ini, yaitu :
1. Sanksi yang bersifat fisik,
2. Sanksi yang bersifat psikologik, dan
3. Sanksi yang bersifat ekonomik.
Pada praktiknya, ketiga jenis sanksi tersebut di atas itu sering kali terpaksa diterapkan secara bersamaan tanpa bisa dipisah-pisahkan, misalnya kalau seorang hakim menjatuhkan pidana penjara kepada seorang terdakwa; ini berarti bahwa sekaligus terdakwa tersebut dikenai sanksi fisik (karena dirampas kebebasan fisiknya), sanksi psikologik (karena terasakan olehnya adanya perasaan aib dan malu menjadi orang hukuman), dan sanksi ekonomik ( karena dilenyapkan kesempatan meneruskan pekerjaannya guna menghasilkan uang dan kekayaan ).
Sementara itu, untuk mengusahakan terjadinya konformitas, kontrol sosial sesungguhnya juga dilaksanakan dengan menggunakan incentive-incentive positif yaitu dorongan positif yang akan membantu individu-individu untuk segera meninggalkan pekerti-pekertinya yang salah, Sebagaimana halnya dengan sanksi-sanksi, pun incentive itu bisa dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Incentive yang bersifat fisik;
2. Incentive yang bersifat psikologik; dan
3. Incentive yang bersif ekonomik.
Incentive fisik tidaklah begitu banyak ragamnya, serta pula tidak begitu mudah diadakan. Pun, andaikata bisa diberikan, rasa nikmat jasmaniah yang diperoleh daripadanya tidaklah akan sampai seekstrem rasa derita yang dirasakan di dalam sanksi fisik. Jabatan tangan, usapan tangan di kepala, pelukan, ciuman tidaklah akan sebanding dengan ekstremitas penderitaan sanksi fisik seperti hukuman cambuk, hukuman kerja paksa, hukuman gantung dan lain sebagainya. Bernilai sekadar sebagai simbol, kebanyakan incentive fisik lebih tepat dirasakan sebagai incentive psikologik. Sementara itu, disamping incentive fisik dan psikologik tidak kalah pentingnya adalah incentive ekonomik. Incentive ekonomik kebanyakan berwujud hadiah-hadiah barang atau ke arah penghasilan uang yang lebih banyak.

Apakah kontrol sosial itu selalu cukup efektif untuk mendorong atau memaksa warga masyarakat agar selalu conform dengan norma-norma sosial (yang dengan demikian menyebabkan masyarakat selalu berada di dalam keadaan tertib ) ? Ternyata tidak. Usaha-usaha kontrol sosial ternyata tidak berhasil menjamin terselenggaranya ketertiban masyarakat secara mutlak, tanpa ada pelanggaran atau penyimpangan norma-norma sosial satu kalipun.
Ada lima faktor yang ikut menentukan sampai seberapa jauhkah sesungguhnya sesuatu usaha kontrol sosial oleh kelompok masyarakat itu bisa dilaksanakan secara efektif, yaitu :
1. Menarik-tidaknya kelompok masyarakat itu bagi warga-warga yang bersangkutan ;
2. Otonom-tidaknya kelompok masyarakat itu;
3. Beragam-tidaknya norma-norma yang berlaku di dalam kelompok itu,
4. Besar-kecilnya dan bersifat anomie-tidaknya kelompok masyarakat yang bersangkutan; dan
5. Toleran-tidaknya sikap petugas kontrol sosial terhadap pelanggaran yang terjadi.

1. Menarik-Tidaknya Kelompok Masyarakat Itu Bagi Warga yang Bersangkutan.
Pada umumnya, kian menarik sesuatu kelompok bagi warganya, kian besarlah efektivitas kontrol sosial atas warga tersebut, sehingga tingkah pekerti-tingkah pekerti warga itu mudah dikontrol conform dengan keharusan-keharusan norma yang berlaku. Pada kelompok yang disukai oleh warganya, kuatlah kecendrungan pada pihak warga-warga itu untuk berusaha sebaik-baiknya agar tidak melanggar norma kelompok. Norma-norma pun menjadi self-enforcing. Apabila terjadi pelanggaran, dengan mudah si pelanggar itu dikontrol dan dikembalikan taat mengikuti keharusan norma. Sebaliknya, apabila kelompok itu tidak menarik bagi warganya, maka berkuranglah motif pada pihak warga kelompok untuk selalu berusaha menaati norma-norma sehingga karenanya-bagaimanapun juga keras dan tegasnya kontrol sosial dilaksanakan-tetaplah juga banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.

2. Otonom-Tidaknya Kelompok Masyarakat Itu.
Makin otonom suatu kelompok, makin efektiflah kontrol sosialnya, dan akan semakin sedikitlah jumlah penyimpangan-penyimpangan dan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di atas norma-norma kelompok. Dalil tersebut diperoleh dari hasil studi Marsh.
Penyelidikan Marsh ini dapat dipakai sebagai landasan teoritis untuk menjelaskan mengapa kontrol sosial efektif sekali berlaku di dalam masyarakat-masyarakat yang kecil-kecil dan terpencil; dan sebaliknya mengapa di dalam masyarakt kota besar-yang terdiri dari banyak kelompok-kelompok sosial besar maupun kecil itu – kontrol sosial bagaimanapun juga kerasnya dilaksanakan tetap saja kurang efektif menghadapi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.

3. Beragam-Tidaknya Norma-norma yang Berlaku di dalam Kelompok Itu
Makin beragam macam norma-norma yang berlaku dalam suatu kelompok-lebih-lebih apabila antara norma-norma itu tidak ada kesesuaian, atau apabila malahan bertentangan-maka semakin berkuranglah efektivitas kontrol sosial yang berfungsi menegakkannya. Dalil ini pernah dibuktikan di dalam sebuah studi eksperimental yang dilakukan oleh Meyers.
Dihadapkan pada sekian banyak norma-norma yang saling berlainan dan saling berlawanan, maka individu-individu warga masyarakat lalu silit menyimpulkan adanya sesuatu gambaran sistem yang tertib, konsisten, dan konsekuen. Pelanggaran atas norma yang satu (demi kepentingan pribadi) sering kali malahan terpuji sebagai konformitas yang konsekuen pada norma yang lainnya. Maka, dalam keadaan demikian itu, jelas bahwa masyarakat tidak akan mungkin mengharapkan dapat terselenggaranya kontrol sosial secara efektif.

4. Besar-Kecilnya dan Bersifat Anomie-Tidaknya Kelompok Masyarakat yang Bersangkutan
Semakin besar suatu kelompok masyarakat, semakin sukarlah orang saling mengidentifikasi dan saling mengenali sesama warga kelompok. Sehingga, dengan bersembunyi di balik keadaan anomie (keadaan tak bisa saling mengenal), samakin bebaslah individu-individu untuk berbuat “semaunya”, dan kontrol sosialpun akan lumpuh tanpa daya.
Hal demikian itu dapat dibandingkan dengan apa yang terjadi pada masyarakat-masyarakat primitif yang kecil-kecil, di mana segala interaksi sosial lebih bersifat langsung dan face-to-face. Tanpa bisa bersembunyi di balik sesuatu anomie, dan tanpa bisa sedikit pun memanipulasi situasi heterogenitas norma, maka warga masayarakat di dalam masyarakat-masyarakat yang kecil-primitif itu hampir-hampir tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari kontrol sosial. Itulah sebabnya maka kontrol sosial di masyarakat primitif itu selalu terasa amat kuatnya, sampai-sampai suatu kontrol sosial yang informal sifatnya-seperti ejekan dan sindiran-itu pun sudah cukup kuat untuk menekan individu-individu agar tetap memerhatikan apa yang telah terlazim dan diharuskan.

5. Toleran-Tidaknya Sikap Petugas Kontrol Sosial Terhadap Pelanggaran yang Terjadi
Sering kali kontrol sosial tidak dapat terlaksana secara penuh dan konsekuen, bukan kondisi-kondisi objektif yang tidak memungkinkan, melainkan karena sikap toleran (menenggang) agen-agen kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Mengambil sikap toleran, pelaksana kontrol sosial itu sering membiarkan begitu saja sementara pelanggar norma lepas dari sanksiyang seharusnya dijatuhkan.
Adapun toleransi pelaksana-pelaksana kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi umumnya tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut :
a. Ekstrim-tidaknya pelanggaran norma itu;
b. Keadaan situasi sosial pada ketika pelanggaran norma itu terjadi;
c. Status dan reputasi individu yang ternyata melakukan pelanggaran; dan
d. Asasi-tidaknya nilai moral-yang terkandung di dalam norma-yang terlanggar.

Kontrol atau pengendalian sosial mengacu kepada berbagai alat yang dipergunakan oleh suatu masyarakat untuk mengembalikan anggota-anggota yang kepala batu ke dalam relnya. Tidak ada masyarakat yang bisa berjalan tanpa adanya kontrol sosial.
Bentuk kontrol sosial atau cara-cara pemaksaan konformitas relatif beragam. Cara pengendalian masyarakat dapat dijalankan dengan cara persuasif atau dengan cara koersif. Cara persuasif terjadi apabila pengendalian sosial ditekankan pada usaha untuk mengajak atau membimbing, sedangkan cara koersif tekanan diletakkan pada kekeraan atau ancaman dengan mempergunakan atau mengandalkan kekuatan fisik. Menurut Soekanto (1981;42) cara mana yang lebih baik senantiasa tergantung pada situasi yang dihadapi dan tujuan yang hendak dicapai, maupun jangka waktu yang dikehendaki.

Di dalam masyarakat yang makin kompleks dan modern, usaha penegakan kaidah sosial tidak lagi bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan kesadaran warga masyarakat atau pada rasa sungkan warga masyarakat itu sendiri. Usaha penegakan kaidah sosial di dalam masyarakat yang makin modern, tak pelak harus dilakukan dan dibantu oleh kehadiran aparat petugas kontrol sosial.
Di dalam berbagai masyarakat, beberapa aparat petugas kontrol sosial yang lazim dikenal adalah aparat kepolisian, pengadilan, sekolah, lembaga keagamaan, adat, tokoh masyarakat-seperti kiai-pendeta-tokoh yang dituakan, dan sebagainya.

Diarikan dari : “Berkenalan dengan Sosiologi, M. Sitorus”
“Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, J.dwi Narwoko-Bagong Suyatno (ed.)“

BAB I PERUBAHAN SOSIAL



  1. PENGANTAR
Pernahkah kamu mengamati perubahan pada dirimu sendiri ? Lihatlah kembali foto-foto kamu pada saat kamu kecil! Adakah perubahan pada dirimu? Pernahkah pula kamu berfikir perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarmu? Misalkan dahulu ada sesuatu yang ada sekarang tidak ada atau sebaliknya? Bagaimanakah dengan masyarakat di sekitarmu? Mengapa masyarakat bisa berubah?
Perubahan masyarakat tidak akan lepas dari perubahan budaya yang terjadi masyarakat tersebut. Pada dasarnya manusia mempunyai sifat dasar selalu serba kekurangan dan berusaha memenuhi kekurangan tersebut. Sehingga masyarakat dengan manusia yang ada di dalamnya adalah makhluk yang dinamis, aktif, kreatif, inovatif dan agresif dan responsif terhadap perubahan. Adanya sifat masyarakat yang demikian mengakibatkan ketidaksesuaian di antara unsur-unsur yang berbeda dalam kehidupan  sosial yang menyebabkan  pola kehidupan baru. Anggota masyarakat berusaha memodifikasi struktur dan pola kebudayaan  dalam masyarakat dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya.  Perubahan-perubahan tersebut disebut perubahan sosial.
Menilik kepada sistem yang berlaku pada masyarakat, tidak semua anggota masyarakat sepaham dan seirama pandangannya. Terhadap kebudayaanya sendiri sering kita jumpai terjadi gesekan-gesekan ketidaksesuaian dengan budaya yang sudah ada. Misalnya adanya pengurus tandingan, pembaharu agama dan sebagainya. Hal ini menyebabkan perubahan  dalam masyarakat.
  1. PENGERTIAN PERUBAHAN SOSIAL
Perubahan sosial berkembang sejak kurun waktu prasejarah sampai sekarang. Perubahan tersebut mencakup segala aspek kehidupan baik aspek sosial, ekonomi maupun politik.  Berikut ini pengertian perubahan sosial yang dikemukakan oleh para ahli.
    1. Selo Sumarjan
Perubahan sosial adalah perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai, sikap dan perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
    1. Samuel Koenig
Perubahan sosialmenunjuk pada modifikasi-modifiikasi yang terjadi dalam pola-pola masyarakat
    1. Kingsley Davis
Perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi  dalam struktur dan fungsi masyarakat.
    1. Mac Iver
Perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan  dalam interaksi sosial (social relation) atau perubahan  terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial.
    1. Gillin and Gillin
Perubahan sosial sebagai suatu variasi  dari cara-cara hidup yang telah diterima baik karena kondisi geografi, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun adanya difusi atau penemuan baru di masyarakat.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian perubahan sosial adalah perubahan yang berkenaan dengan masyarakat. Perubahan tersebut berkenaan  dengan kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya perubahan sistem nilai, norma-norma sosial, sistem lapisan masyarakat, struktur sosial, proses-proses sosial, fungsi sosial, sikap, pola perilaku dan lembaga-lembaga sosial.

Perubahan sosial mempunyai ciri-ciri tertentu, antara lain

1.      setiap masyarakat mengalami perubahan (masyarakat dinamis)
2.      perubahan sosial berlangsung secara terus-menerus
3.      perubahan sosial selalu diikuti perubahan-perubahan sosial lainnya
4.      perubahan sosial yang terlalu cepat menyebabkan adanya disintegrasi
5.      perubahan sosial dapat berlangsung bidang material dan immaterial
  1. BENTUK-BENTUK PERUBAHAN SOSIAL
    1. Perubahan sosial yang lambat dan perubahan sosial yang cepat
a.       perubahan sosial yang lambat (evolusi)
Perubahan sosial ini berlangsung sangat lambat dan lama. Biasanya perubahan ini meliputi rentetan perubahan yang relatif kecil yang terus menerus. Di samping itu perubahan sosial initidak direncanakan. Proses perubahan sosial yang demikian sering disebut evolusi. Contoh evolusi adalah perubahan mata pencaharian penduduk dari berburu dan meramu menuju pertanian menetap.
b.      perubahan sosial yang cepat (revolusi)
Perubahan sosial ini berlangsung sangat cepat dan mencakup dasar atau pokok-pokok kehidupan dalam masyarakat. Perubahan ini sering disebut revolusi. Perubahan ini biasanya direncanakan lebih dahulu. Untuk mewujudkan perubahan dapat dilakukan dengan kekerasan maupun tanpa kekerasan. Contoh revolusi antara lain revolusi industri, yakni mengubah produksi dengan tenaga mesin. Revolusi hijau, mengubah produksi hasil pertanian menjadi berlipat-lipat.

Syarat-syarat revolusi antara lain :

1)      ada keinginan yang kuat dari masyarakat untuk berubah
2)      adanya pimpinan baik perorangan maupun kelompok orang yang mampu memimpin arah perubahan
3)      kemampuan pemimpin yang karismatik
4)      ada tujuan nyata yang akan dicapai
5)      disesuaikan dengan momentum (waktu) yang tepat dalam mengadakan perubahan
    1. Perubahan sosial yang pengaruhnya kecil dan pengaruhnya besar
a.       perubahan sosial yang pengaruhnya kecil
Perubahan sosial ini membawa pengaruh yang kurang berarti bagi kehidupan masyarakat. Atau hanya mempengaruhi sebagian kecil anggota masyarakat saja. Contohnya mode gaya rambut yang berpengaruh pada segelintir orang saja.
b.      perubahan yang pengaruhnya besar
perubahan sosial ini membawa penagruh kepada struktur dan aspek kehidupan masyarakat. Perubahan sosial ini menyebabkan masyarakat menerima dampak yang ditimbulkan. Contoh industrialisasi pedesaan yang akan membawa pengaruh kepada aspek sosial, ekonomi dan politik masyarakat desa.
    1. Perubahan yang direncanakan dan tidak direncanakan
a.       perubahan yang direncanakan (planned change)
perubahan sosial ini telah direncanakan dan dipersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya. Perubahan sosial ini direncanakan dengan tujuan yang jelas. Perubahan ini membutuhkan agen perubahan (agent of change), yaitu orang atau kelompok orang yang dipercaya mampu memimpin perubahan. Contoh program KB, tranmigrasi dan perumahan cluster.
b.      perubahan yang tidak direncanakan (unplanned change)
perubahan yang tidak direncanakan atau jauh dari perkiraan semula.  Sehingga terjadi perubahan yang yang tidak dikehendaki. Contoh pemukiman kumuh akibat industrialisasi.
    1. Perubahan struktur dan perubahan proses
Perubahan struktur meliputi seluruh komponen yang mendasar sehingga menimbulkan reorganisasi dalam masyarakat.  Sedangkan perubahan proses adalah perubahan yang tidak mendasar, hanya berupa penyempurnaan atau pembaharuan.
  1. FAKTOR PENDORONG DAN PENGHAMBAT PERUBAHAN SOSIAL
Perubahan sosial  tidak serta merta terjadi begitu saja. Akan tetapi disebabkan oleh faktor-faktor tertentu.  Ada faktor pendorong dan faktor penghambat yang mempengaruhi perubahan sosial.
    1. Faktor Pendorong perubahan sosial
Yang termasuk pendorong perubahan sosial dapat berasal dari dalam masyarakat (internal) dan faktor dari luar masyarakat (eksternal).
a.       Faktor internal
perubahan sosial disebabkan oleh perubahan-perubahan yang berasal dari dalam masyarakat itu sendiri. Adapun faktor tersebut antara lain :
1)      Faktor kependudukan
Faktor ini berkaitan erat dengan bertambahnya dan berkurangnya jumlah penduduk. Misalnya pembukaan lahan di daerah pinggiran kota untuk perumahan. Hal ini akan mempengaruhi struktur penduduk dan tata guna lahan daerah tersebut. Awalnya sebagian penduduknya petani, sekarang mata pencaharian bermacam-macam latar belakangnya. Hal lain akan berpengaruh kepada tata guna lahan serta kepemilikan lahan daerah tersebut.
Desa yang ditinggalkan penduduknya ke kota mengakibatkan desa kekurangan tenaga kerja terdidik terutama dalam bidang pertanian. Ini berakibat produksi pertanian menurun.
2)      Penemuan Baru
Untuk memenuhi kebutuhannya, manusia berusaha untuk mencoba hal-hal yang baru. Pada suatu saat orang akan menemukan sesuatu yang baru baik yang berupa ide maupun benda (teknologi). Penemuan sesuatu yang baru yang sebelumnya belum pernah ada dan menyebabkan perubahan disebut discovery. Misalnya  diketemukannya mesin uap oleh James Watt. Hasil temuan tersebut kemudian diakui dan mendapat pengakuan dari masyarakat. Jika temuan baru tersebut disempurnakan menjadi sesuatu yang baru disebut invention. Misalnya mobil pada awalnya hanya berbahan bakar bensin atau solar , kemudian dengan adanya penyempurnaan jadilah mobil dengan bahan bakar biodiesel atau listrik lebih ramah lingkungan.
Penemuan baru sering berpengaruh terhadap bidang atau aspek lainnya. Bentuk pengaruh penemuan perubahan sosial dapat berupa efek menyebar, efek karambol dan efek memusat.
  • Efek menyebar, efek ini berawal di temukan sesuatu yang baru menyebabkan perubahan dalam beberapa aspek.
  • Efek menjalar, yaitu penemuan baru menyebakan perubahan-perubahan yang menjalar dari lembaga kemasyarakatan satu ke lembaga kemasyarakatan lainnya. 
  • Efek memusat, yaitu adanya bermaacam-macam penemuan baru menyebabkan satu bentuk perubahan. Efek ini dapat dilihat pada skema berikut
3)      Konflik dalam masyarakat
Adanya konflik yang terjadi di dalam masyarakat dapat menyebabkan perubahan sosial dan budaya. Pertentangan antara individu, individu dengan kelompok maupun antar kelompok sebenarnya didasari oleh perbedaan  kepentingan. Dengan adanya pertentangan maka akan timbul peperangan maupun bentuk akomodasi yang dapat menimbulkan perubahan sosial. Contohnya adalah model upacara perkawinan. Orang tua biasanya akan bertahan dengan adat yang memakan waktu lama dan ribet, sedangkan anak muda berkeinginan upacara perkawinan yang singkat dan simpel. Sehingga  akan muncul kompromi di mana menggunakan adat lama tetapi yang lebih simpel.
4)      Adanya pemberontakan atau revolusi
Sebagai contoh adanya keinginan merdeka bangsa Indonesia pada tahun 1945 menyebabkan perubahan yang luar biasa.  Perubahan tersebut antara lain bidang pemerintahan, organisasi sosial, organisasi ekonomi, politik dan sebagainya.
b. Faktor eksternal
Selain dari dalam masyarakat, perubahan sosial juga disebabkan oleh faktor dari luar masyarakat. Faktor tersebut antara lain :
1)      perubahan lingkungan
Lingkungan sangat berpengaruh kepada perubahan sosial dan budaya. Perubahan lingkungan dapat disebabkan oleh faktor alam seperti bencana alam, angin topan, banjir, gempa bumi dan sebagainya. Sedangkan perubahan lingkungan disebabkan oleh aktifitas manusia antara adanya pencemaran, adanya sampah, perubahan penggunaan lahan dan sebagaianya.  Perubahan lingkungan menyebabkan perubahan sosial misalnya karena topan, banyak perahu nelayan yang hancur.  Nelayan beralih menjadi petani untuk menyambung hidup.
2)      Terjadinya perang
Peperangan menyebabkan banyak akibat. Dalam peperangan terdapat negara yang menang dan negara yang kalah. Biasanya pihak yang menang akan menebarkan pengaruhnya terhadap pihak yang kalah. Hal inilah yang menyebabkan perubahan sosial. Sebagai contoh adalah perang di Iraq, di mana terjadi perubahan konstitusi dari negara kesatuan menjadi negara federal.
3)      Pengaruh budaya lain
Adanya kontak dengan budaya asing dan sifat terbuka masyarakat sangat mendukung perubahan sosial di masyarakat.  Pengaruh budaya asing dapat berlangsung dengan tanpa paksaan (penetration pasifique) dan  dengan paksaan (penetration violente).  Pengaruh budaya asing dapat berlangsung melalui proses :
  • Akulturasi, percampuran dua budaya atau lebih yang menghasilkan bentuk budaya baru tanpa meninggalkan budaya lama. Contohnya upacara kematian yang menggabungkan budaya Hindu dengan budaya Islam.
  • Asimilasi, percampuran 2 budaya atau lebih yang menghasilkan kebudayaan baru yang memang berbeda dengan budaya lama.
Faktor-faktor yang mempermudah asimilasi antara lain :
-         toleransi antar kebudayaan yang tinggi
-         masayarakat bersikap terbuka
-         persamaan unsur-unsur budaya
-         adanya musush bersama
-         adanya keseempatan yang sama dalam ekonomi
-         perkawinan campuran
Faktor-faktor yang menghambat proses asimilasi antara lain:
-         masyarakat tertutup (terisolir)
-         skeptis terhadap budaya lain
-         primordialisme yang berlebihan
-         kurangnya pengetahuan
-         perasaan takut terhadap budaya lain
-         adanya kepentingan tertentu
    1. Faktor penghambat perubahan sosial
Perubahan sosial tidak selamanya berjalan dengan baik. Ada faktor-faktor yang menghambat terjadinya perubahan sosial, antara lain :
  1. masyarakat yang relatif tertutup, biasanya masyarakat terasing dan terisolir akan sukar berubah. Hal ini disebabkan oleh kontak dengan dunia luar yang kurang.
  2. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lambat,  dimungkinkan penguasan pengetahuan yang rendah menyebabkan masyarakat sukar berubah. Hal ini disebakan keterbatasan pengetahuan masyarakat
  3. rasa primordialisme yang tinggi. Ini disebabkan oleh mengagung-agungkan budaya sendiri, sehingga masyarakat sukar menerima budaya asing.
  4. adanya rasa ketakutan terhadap budaya lain. Adanya ketakutan terhadap budaya luar masyarakat akan bersifat tertutup terhadap pengaruh asing
  5. adat istiadat sukar berubah.
  6. adanya kepentingan yang tertanam kuat (vested interest)
  1. KONSEKUENSI PERUBAHAN SOSIAL
Perubahan sosial membawa konsekuensi yang bermacam-macam bagi kehidupan masyarakat. Perubahan sosial dapat menjadikan kuatnya masyarakat (integrasi) dan terpecahnya masyarakat (disintegrasi).
  1. Integrasi
Adanya perubahan sosial, tidak selamanya membawa pengaruh yang negatif. Apabila perubahan sosial  mampu menguatkan rasa identitas dan solidaritas masyarakat bukan tidak mungkin membawa rasa kebersamaan yang tinggi.  Dengan demikian akam timbul suatu kehidupan yang harmonis karena adanya keselarasan dalam hidup bermasyarakat. Integrasi masyarakat melalui beberapa tahap, yang diawali dengan proses akomodasi (mengurangi terjadinya konflik).
B.   Disintegrasi Sosial
Perubahan sosial, apabila tidak diskapi secara arif dan bijaksana dapat menimbulkan ketidaksesuaian dan ketidakseimbangan dalam masyarakat. Keadaan yang demikian akan mengakibatkan disorganisasi sosial yang merupakan cikal bakal disintegrasi sosial. Apabila hal ini dibiarkahan akan menimbulkan keadaan masyarakat tanpa aturan (anomie) yang menjadi pegangan hidup masyarakat. Oleh karena itu setiap terjadinya perubahan sosial yang mengarah kepada disintegrasi sosial harus segera mendapat perhatian.
Selain proses di atas, munculnya perubahan sosial yang tidak diikuti oleh sebagian masyarakat juga mengakibatkan disintegrasi sosial. Perbedaan perkembangan kebudayaan yang berbeda-beda akan menimbulkan benturan-benturan. Hal ini sering disebut Cultural lag (kesenjangan kebudayaan). Sebagai contoh golongan tua dalam masyarakat masih berpegang teguh terhadap nilai dan norma yang berlaku berbenturan golongan muda yang sudah menghendaki perubahan.
Dengan adanya tingkat perubahan yang cepat, kadang menimbulkan percampuran budaya (mestizo culture).  Sering anggota tidak menyadari apa yang dilakukan dengan meniru budaya asing tanpa tahu apa maknanya.
Secara umum gejala disintegrasi sosial ditandai oleh hal-hal berikut ini :
a.       sebagian masyarakat tidak mematuhi aturan dan norma yang ada
b.      muncul silang pendapat di antara anggota masyarakat tentang tujuan yang akan dicapai
c.       wibawa dan karisma para pemimpin semakin pudar
d.      sanksi dan hukuman yang tidak dilaksanakan secara benar dan konsekuen
Umumnya proses disintegrasi sosial dalam masyarakat mempunyai bermacam-macam bentuk. Adapun bentuk-bentuk disintegrasi sosial antara lain:
a.       Pemberontakan atau pergolakan daerah
Pemberontakan atau pergolakan darah  adalah proses disintegrasi sosial yang ditandai dengan masyarakat daerah mempermasalahkan suatu persoalan tertentu. Sebagai contoh DI/TII yang mempermasalahkan ideologi bangsa. Organisasi Papua Merdeka yang ingin memisahkan diri dari NKRI yang akar permasalahannya masalah pembagian SDA di daerah.
b.      Aksi protes dan demontrasi
Bentuk disintegrasi sosial ini disebakan oleh keadaan ketidakpuasan terhadapsuatu keputusan atau kebijakan.  Aksi protes dapat dilakukan secara individu maupun kelompok, sedangkan demontrasi dilakukan secara bersama-sama. Sebagai contoh antara lain  aksi jahit mulut memprotes SUTET. Contoh yang lain adalah demontasi buruh menuntut kenaikan UMR.
c.       Kriminalitas
Kriminalitas ditandai dengan pelanggaran terhadap norma dan aturan yang berlaku di masyarakat.  Tindakan kriminal dilakukan seseorang baik direncanakan maupun yang tidak direncanakan. Sifat kriminal dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya, baik itu melalui proses imitasi, kekecewaan, sakit hati, pertentangan dan sebagainya. Adapun yang termasuk tindakan kriminal antara lain pencurian, perampokan, pembunuhan, perkosaan, pemerasan, korupsi, pencemaran nama baik, pemalsuan, obat-obatan terlarang dan sebagainya.
Untuk mengurangi tindakan kriminal dapat dilakukan dengan usaha pencegahan (preventif) dan penindakan (represif).
Sering kita jumpai tindakan kriminal, tetapi tidak pernah tersentuh oleh hukum. Hal ini disebabkan oleh kekuasaan dan keadaan ekonomi sang tersangka.  Biasanya kejahatan yang demikian berkaitan dengan wewenang dan peranan yang disalahgunakan. Kejahatan yang demikian disebut White collar crime(penjahat kerah putih). Kejahatan yang sering kalian lihat umumnya dilatarbelakangi oleh keadaan ekonomi yang serba kekurangan termasuk dalam penjahat kerah biru (Blue collar crime).
d.      Kenakalan remaja
Sering kamu dengar, antara pelajar sekolah A tawur dengan pelajar sekolah X.  Kenakalan remaja merupakan fenomena sosial yang menggejala baik di pedesaan maupun perkotaan. Yang lebih menonjol kenakalan remaja di perkotaan. Sebenarnya mengapa kenakalan remaja dapat terjadi?  Sebenarnya siapakah yang paling bertanggungjawab terhadap timbulnya kenakalan remaja.  Salah satu faktor utama adalah kurangnya perhatian keluarga bagi anak. Anak dibiarkan begitu saja karena orang tua sibuk bekerja, atau karena keluarga tidak harmonis.  Selain itu latar belakang orang tua yang tidak mampu menyekolahkan anaknya ke jenjang lebih tinggi, sehingga banyak waktu luang yang dimanfaatkan pada kegiatan yang menyimpang. Umumnya kenakalan remaja ditandai oleh :
1)      adanya keinginan untuk melawan, dapat berupa radikalisme
2)      adanya sikap acuh terhadap lingkungannya yang biasanya disertai dengan kekecewaan.
e.       Prostitusi
Pernah kamu lihat di televisi polisi pamong praja sedang merazia pelacur jalanan. Sebenarnya apa itu prostitusi? Prostitusi adalah suatu pekerjaan dengan menyerahkan diri atau badan kepada umum untuk melakukan perbuatan seksual untuk mendapatkan imbalan. Prostitusi disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi tingkat libido yang tinggi (hiperseks), sifat malas dan keinginan untuk hidup mewah. Sedangkan faktor eksternal antara lain latar belakang ekonomi, akibat urbanisasi dan keadaan perumahan yang tidak memenuhi syarat.