HARI RAYA
NYEPI
Hari raya Nyepi oleh umat hindu di Bali dirayakan sebagai
hari pergantian tahun baru Caka. Hari raya ini menurut penanggalan hindu jatuh
pada tanggal satu (penanggal pisan) sasih X (kedasa) atau tepatnya sehari
sesudah tilem ke IX (kesanga). Terdapat beberapa rangkaian pelakasanaan hari
raya Nyepi ini, yaitu:
Melasti
Melasti sering disebut dengan Melis atau Mekiis. Upacara melasti ini dilakukan pada pengelong 13 sasih kesanga (tepatnya traodasa kresnapaksa sasih IX). Pada upacara melasti ini dilakukan pensucian atau pembersihan segala sarana atau prasarana persembahyangan. Alat-alat atau sarana persembahyangan yang dibersihkan antara lain adalah: pratima dan pralingga. Sarana-sarana ini selanjutnya diusung ke tempat pembersihan seperti laut (pantai) atau sumber mata air lain yang dianggap suci, sesuai dengan keadaan tempat pelaksanaan upacara (desa, kala, patra). Tujuan dari upacara melasti ini adalah untuk memohon tirtha amerta sebagai air pembersih dari Hyang Widhi.
Tawur Kesanga
Tawur kesanga jatuh sehari sebelum pelaksanaan hari raya nyepi yaitu pada tilem kesanga. Pada upacara tawur ini dilakukan persembahan kepada para bhuta berupa caru. Caru ini dipesembahkan agar para bhuta tidak menurunkan sifat-sifatnya pada pelaksanaan hari raya nyepi. Hal ini juga bertujuan untuk menghilangkan unsur-unsur jahat dari diri manusia sehingga tidak mengikuti manusia pada tahun berikutnya. Upacara tawur kesanga ini sering juga disebut dengan upacara pecaruan dan juga tergolong upacara bhuta yadnya.
Hari Nyepi
Hari raya nyepi dirayakan oleh umat dengan cara melakukan Catur Bratha Penyepian. Catur bratha penyepian terdiri dari empat macam pantangan yaitu: amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bekerja) dan amati lelanguan (tidak melakukan kegiatan hiburan). Semua pantangan in dilakukan untuk mengekang hawa nafsu dan segala keinginan jahat sehingga dicapai suatu ketenangan atau kedamaian batin. Dengan ini pikiran manusia bisa terintropeksi atas segala perbuatannya pada masa lalu dan pada saat yang sama memupuk perbuatan yang baik untuk tahun berikutnya. Semua ini dilakukan selama satu hari penuh pada hari raya nyepi.
Ngembak Geni
Sehari setelah hari raya nyepi, semua aktivitas kembali berjalan seperti biasa. Hari ini dimulai dengan persembahyangan dan pemanjatan doa kepada Hyang Widhi untuk kebaikan pada tahun yang baru. Pada hari ngembak geni ini hendaknya umat saling bersilatuahmi dan memaafkan satu sama lain.
Hari raya nyepi pada hakekatnya adalah hari pengekangan hawa nafsu dan intropeksi diri atas segala perbuatan yang dilakukan pada masa lalu. Pelaksanaan hari raya nyepi ini harus didasari dengan niat yang kuat, tulus dan ikhlas tanpa ada ambisi tertentu. Pengekangan hawa nafsu untuk mencapai kebebasan batin memang suatu ikatan tetapi ikatan itu dilakukan dengan penuh keikhlasan.
Melasti
Melasti sering disebut dengan Melis atau Mekiis. Upacara melasti ini dilakukan pada pengelong 13 sasih kesanga (tepatnya traodasa kresnapaksa sasih IX). Pada upacara melasti ini dilakukan pensucian atau pembersihan segala sarana atau prasarana persembahyangan. Alat-alat atau sarana persembahyangan yang dibersihkan antara lain adalah: pratima dan pralingga. Sarana-sarana ini selanjutnya diusung ke tempat pembersihan seperti laut (pantai) atau sumber mata air lain yang dianggap suci, sesuai dengan keadaan tempat pelaksanaan upacara (desa, kala, patra). Tujuan dari upacara melasti ini adalah untuk memohon tirtha amerta sebagai air pembersih dari Hyang Widhi.
Tawur Kesanga
Tawur kesanga jatuh sehari sebelum pelaksanaan hari raya nyepi yaitu pada tilem kesanga. Pada upacara tawur ini dilakukan persembahan kepada para bhuta berupa caru. Caru ini dipesembahkan agar para bhuta tidak menurunkan sifat-sifatnya pada pelaksanaan hari raya nyepi. Hal ini juga bertujuan untuk menghilangkan unsur-unsur jahat dari diri manusia sehingga tidak mengikuti manusia pada tahun berikutnya. Upacara tawur kesanga ini sering juga disebut dengan upacara pecaruan dan juga tergolong upacara bhuta yadnya.
Hari Nyepi
Hari raya nyepi dirayakan oleh umat dengan cara melakukan Catur Bratha Penyepian. Catur bratha penyepian terdiri dari empat macam pantangan yaitu: amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bekerja) dan amati lelanguan (tidak melakukan kegiatan hiburan). Semua pantangan in dilakukan untuk mengekang hawa nafsu dan segala keinginan jahat sehingga dicapai suatu ketenangan atau kedamaian batin. Dengan ini pikiran manusia bisa terintropeksi atas segala perbuatannya pada masa lalu dan pada saat yang sama memupuk perbuatan yang baik untuk tahun berikutnya. Semua ini dilakukan selama satu hari penuh pada hari raya nyepi.
Ngembak Geni
Sehari setelah hari raya nyepi, semua aktivitas kembali berjalan seperti biasa. Hari ini dimulai dengan persembahyangan dan pemanjatan doa kepada Hyang Widhi untuk kebaikan pada tahun yang baru. Pada hari ngembak geni ini hendaknya umat saling bersilatuahmi dan memaafkan satu sama lain.
Hari raya nyepi pada hakekatnya adalah hari pengekangan hawa nafsu dan intropeksi diri atas segala perbuatan yang dilakukan pada masa lalu. Pelaksanaan hari raya nyepi ini harus didasari dengan niat yang kuat, tulus dan ikhlas tanpa ada ambisi tertentu. Pengekangan hawa nafsu untuk mencapai kebebasan batin memang suatu ikatan tetapi ikatan itu dilakukan dengan penuh keikhlasan.
HARI RAYA SARASWATI
(Sumber: Buku "Yadnya dan Bhakti" Oleh Ketut
Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni)
Saraswati adalah nama dewi, Sakti Dewa Brahma
(dalam konteks ini, sakti berarti istri). Dewi Saraswati diyakini sebagai
manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsi-Nya sebagai dewi ilmu pengetahuan.
Dalam berbagai lontar di Bali disebutkan "Hyang Hyangning Pangewruh."
Di India umat Hindu mewujudkan
Dewi Saraswati sebagai dewi yang amat cantik bertangan empat memegang: wina
(alat musik), kropak (pustaka), ganitri (japa mala) dan bunga teratai. Dewi
Saraswati dilukiskan berada di atas angsa dan di sebe-lahnya ada burung merak.
Dewi Saraswati oleh umat di India dipuja dalam wujud Murti Puja. Umat Hindu di
Indonesia memuja Dewi Saraswati dalam wujud hari raya atau rerahinan.
Hari raya untuk memuja
Saraswati dilakukan setiap 210 hari yaitu setiap hari Sabtu Umanis Watugunung.
Besoknya, yaitu hari Minggu Paing wuku Sinta adalah hari Banyu Pinaruh yaitu
hari yang merupakan kelanjutan dari perayaan Saraswati. Perayaan Saraswati
berarti mengambil dua wuku yaitu wuku Watugunung (wuku yang terakhir) dan wuku
Sinta (wuku yang pertama). Hal ini mengandung makna untuk mengingatkan kepada
manusia untuk menopang hidupnya dengan ilmu pengetahuan yang didapatkan dari
Sang Hyang Saraswati. Karena itulah ilmu penge-tahuan pada akhirnya adalah
untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewi Saraswati.
Pada hari Sabtu wuku
Watugunung itu, semua pustaka terutama Weda dan sastra-sastra agama dikumpulkan
sebagai lambang stana pemujaan Dewi Saraswati. Di tempat pustaka yang telah
ditata rapi dihaturkan upacara Saraswati. Upacara Saraswati yang paling inti
adalah banten (sesajen) Saraswati, daksina, beras wangi dan dilengkapi dengan
air kumkuman (air yang diisi kembang dan wangi-wangian). Banten yang lebih
besar lagi dapat pula ditambah dengan banten sesayut Saraswati, dan banten
tumpeng dan sodaan putih-kuning. Upacara ini dilangsungkan pagi hari dan tidak
boleh lewat tengah hari.
Menurut keterangan lontar
Sundarigama tentang Brata Saraswati, pemujaan Dewi Saraswati harus dilakukan
pada pagi hari atau tengah hari. Dari pagi sampai tengah hari tidak
diperkenankan membaca dan menulis terutama yang menyangkut ajaran Weda dan
sastranya. Bagi yang melaksanakan Brata Saraswati dengan penuh, tidak membaca
dan menulis itu dilakukan selama 24 jam penuh. Sedangkan bagi yang melaksanakan
dengan biasa, setelah tengah hari dapat membaca dan menulis. Bahkan di malam
hari dianjurkan melakukan malam sastra dan sambang samadhi.
Besoknya pada hari Radite
(Minggu) Paing wuku Sinta dilangsungkan upacara Banyu Pinaruh. Kata Banyu
Pinaruh artinya air ilmu pengetahuan. Upacara yang dilakukan yakni menghaturkan
laban nasi pradnyam air kumkuman dan loloh (jamu) sad rasa (mengandung enam
rasa). Pada puncak upacara, semua sarana upacara itu diminum dan dimakan.
Upacara lalu ditutup dengan matirtha. Upacara ini penuh makna yakni sebagai lambang
meminum air suci ilmu pengetahuan.
Filosofi dan Mitologi
Upacara dan upakara dalam
agama Hindu pada hakikatnya mengandung makna filosofis sebagai penjabaran dari
ajaran agama Hindu. Secara etimologi, kata Saraswati berasal dari Bahasa
Sansekerta yakni dari kata Saras yang berarti "sesuatu yang mengalir"
atau "ucapan". Kata Wati artinya memiliki. Jadi kata Saraswati secara
etimologis berarti sesuatu yang mengalir atau makna dari ucapan. Ilmu
pengetahuan itu sifatnya mengalir terus-menerus tiada henti-hentinya ibarat
sumur yang airnya tiada pernah habis mes-kipun tiap hari ditimba untuk memberikan
hidup pada umat manusia.
Sebagaimana disebutkan,
Saraswati juga berarti makna ucapan atau kata yang bermakna. Kata atau ucapan
akan memberikan makna apabila didasarkan pada ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan itulah yang akan menjadi dasar orang untuk menjadi manusia yang
bijaksana. Kebijaksanaan merupakan dasar untuk mendapatkan kebahagiaan atau
ananda. Kehidupan yang bahagia itulah yang akan mengantarkan atma kembali luluh
dengan Brahman.
Dalam upacara atau hari raya
Saraswati, bagi umat Hindu di Indonesia, upacara dihaturkan dalam tumpukan
lontar-lontar atau buku-buku keagamaan dan sastra termasuk pula buku-buku ilmu
pengetahuan lainnya. Bagi umat Hindu di Indonesia aksara yang merupakan lambang
itulah sebagai stana Dewi Saraswati. Aksara dalam buku atau lontar adalah
rangkaian huruf yang membangun ilmu pengetahuan aparawidya maupun parawidya.
Aparawidya adalah ilmu pengetahuan tentang ciptaan Tuhan seperti Bhuana Alit
dan Bhuana Agung. Parawidya adalah ilmu pengetahuan tentang sang pencipta yaitu
Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu di Indonesia - juga di Bali - tidak ada
pelinggih khusus untuk memuja Saraswati yang di Bali diberi nama lengkap Ida
Sang Hyang Aji Saraswati.
Gambar atau patung Dewi
Saraswati yang dikenal di Indonesia berasal dari India. Dewi Saraswati ada
digambarkan duduk dan ada pula versi yang berdiri di atas angsa dan bunga
padma. Ada juga yang berdiri di atas bunga padma, sedangkan angsa dan burung
meraknya ada di sebelah menyebelah dengan Dewi Saraswati. Tentang perbedaan
versi tadi bukanlah masalah dan memang tidak perlu dipersoalkan. Yang
terpenting dari penggambaran Dewi Saraswati itu adalah makna filosofi yang ada
di dalam simbol gambar tadi. Dewi yang cantik dan berwibawa menggambarkan bahwa
ilmu pengetahuan itu adalah sesuatu yang amat menarik dan mengagumkan.
Kecantikan Dewi Saraswati bukanlah kemolekan yang dapat merangsang munculnya
nafsu birahi.
Kecantikan Dewi Saraswati
adalah kecantikan yang penuh wibawa. Memang orang yang berilmu itu akan
menimbulkan daya tarik yang luar biasa. Karena itu dalam Kakawin Niti Sastra
ada disebutkan bahwa orang yang tanpa ilmu pengetahun, amat tidak menarik
biarpun yang bersangkutan muda usia, sifatnya bagus dan keturunan bangsawan.
Orang yang demikian ibarat bunga merah menyala tetapi tanpa bau harum sama
sekali. Sedangkan cakepan atau daun lontar yang dibawa Dewi Saraswati merupakan
lambang ilmu pengetahuan. Sedangkan genitri adalah lambang bahwa ilmu
pengetahuan itu tiada habis-habisnya. Genitri juga lambang atau alat untuk
melakukan japa. Ber-japa yaitu aktivitas spiritual untuk menyebut nama Tuhan
berulang-ulang. Ini pula berarti, menuntut ilmu pengetahuan merupakan upaya
manusia untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Ini berarti pula, ilmu pengetahuan
yang mengajarkan menjauhi Tuhan adalah ilmu yang sesat.
Wina yaitu sejenis alat musik,
yang di Bali disebut rebab. Suaranya amat merdu dan melankolis. Ini
melambangkan bahwa ilmu pengetahuan itu mengandung keindahan atau estetika yang
amat tinggi. Bunga padma adalah lambang Bhuana Agung stana Tuhan Yang Maha Esa.
Ini berarti ilmu pengetahuan yang suci itu memiliki Bhuana Alit dan Bhuana
Agung. Teratai juga merupakan lambang kesucian sebagai hakikat ilmu
pengetahuan.
Angsa adalah jenis binatang
unggas yang memiliki sifat-sifat yang baik yaitu tidak suka berkelahi dan suka
hidup harmonis. Angsa juga memiliki kemampuan memilih makanan. Meskipun makanan
itu bercampur dengan air kotor tetapi yang masuk ke perutnya adalah hanya
makanan yang baik saja, sedangkan air yang kotor keluar dengan sendirinya.
Demikianlah, orang yang telah dapat menguasai ilmu pengetahuan, kebijaksanaan
mereka memiliki kemampuan wiweka. Wiweka artinya suatu kemampuan untuk
membeda-bedakan yang baik dengan yang jelek dan yang benar dengan yang salah.
Bunga Padma atau bunga teratai
adalah bunga yang melambangkan alam semesta dengan delapan penjuru mata
anginnya (asta dala) sebagai stana Tuhan. Burung merak adalah lambang
kewibawaan. Orang yang mampu menguasai ilmu pengetahuan adalah orang yang akan
mendapatkan kewibawaan. Sehubungan dengan ini, Swami Sakuntala Jagatnatha dalam
buku Introduction of Hinduisme menjelaskan bahwa ilmu yang dapat dimiliki oleh
seseorang akan menyebabkan orang-orang itu menjadi egois atau sombong. Karena
itu ilmu itu harus diserahkan pada Dewi Saraswati sehingga pemiliknya menjadi
penuh wibawa karena egoisme atau kesombongan itu telah disingkirkan oleh
kesucian dari Dewi Saraswati. Ilmu pengetahuan adalah untuk memberi pelayanan
kepada manusia dan alam serta untuk persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Di dalam upakara yang disebut
Banten Saraswati salah satu unsurnya ada disebut jajan Saraswati. Jajan ini
dibuat dari tepung beras berwarna putih dan berisi lukisan dua ekor binatang
cecak. Mata cecak itu dibuat dari injin (beras hitam) dan di sebelahnya ada
telur cecak. Dalam banten Saraswati itu mempunyai arti yang cukup dalam.
Menurut para ahli Antropologi, bangsa-bangsa Austronesia memiliki kepercayaan
bahwa binatang melata seperti cecak diyakini memiliki kekuatan dan kepekaan
pada getaran-getaran spiritual. Jajan Saraswati yang berisi gambar cecak
memberi pelajaran bahwa ilmu pengetahuan itu jangan hanya berfungsi
mengembangkan kekuatan ratio atau pikiran saja, tetapi harus mampu mendorong
manusia untuk memiliki kepekaan intuisi sehingga dapat menangkap
getaran-getaran rohani.
Dalam lontar Saraswati juga
memakai daun beringin. Daun beringin adalah lambang kelanggengan atau keabadian
serta pengayoman. Ini berarti ilmu pengetahuan itu bermaksud mengantarkan
kepada kehidupan yang kekal abadi. Ilmu pengetahuan juga berarti pengayoman.
Tentang Dewi Saraswati ada
cerita menarik yang terdapat dalam Utara Kanda bagian dari epos Ramayana. Dalam
cerita tersebut dikisahkan Dewi Saraswati bersemayam secara gaib di lidah
Kumbakarna sehingga dunia terhindar dari kekacauan. Alkisah Resi Waisrawa
beristri Dewi Kaikaisi. Pasangan Resi ini berputra empat orang, tiga orang laki
dan seorang perempuan. Putra sang resi yang pertama bernama Dasa Muka
(Rahwana), kedua Kumbakarna, ketiga bernama Dewi Surpanaka dan yang terkecil
bernama Gunawan Wibhisana. Sang Resi menugaskan putra laki-lakinya supaya
bertapa di gunung Gokarna. Ketiga putra Resi Waisrawa itu kemudian membangun
tempat pertapaan yang terpisah-pisah di gunung Gokarna. Bertahun-tahun mereka
bertapa dengan teguh dan tekunnya. Karena ketekunannya itu, lalu Dewa Brahma
berkenan memberikan anugrah.
Pertama-tama Dewa Brahma
mendatangi Rahwana. Dewa Brahma menanyakan tentang apa yang diharapkan dalam
tapanya ini. Rahwama mengajukan permohonan dapat kiranya Dewa Brahma
menganugrahkan kekuasaan di seluruh dunia. Semua dewa, gandarwa, manusia dan
seluruh makhluk di dunia ini tunduk padanya. Permohonan Rahwana ini dikabulkan.
Selanjutnya Dewa Brahma menuju
pertapaan Gunawan Wibhisana dan menyatakan pula akan memberikan anugrah atas
tapanya. Gunawan Wibhisana menyampaikan permohonannya dapat kiranya Dewa Brahma
memberikan anugrah berupa kesehatan dan ketenangan rohani, memiliki sifat-sifat
utama dan taat melakukan pemujaan kepada Tuhan. Dewa Brahma mengabulkan
permohonan Wibhisana. Begitu Dewa Brahma akan beranjak menuju pertapaan
Kumbakarna para dewa berdatang sembah kepada Dewa Brahma. Para dewa memohon
agar Dewa Brahma tidak menganugrahkan permohonan Kumbakarna. Pasalnya,
Kumbakarna berbadan raksasa yang maha hebat. Kalau ia punya kesaktian, sungguh
sangat membahayakan keselamatan manusia di dunia. Meskipun ada permohonan para
dewa itu, Dewa Brahma bertekad memberikan anugrah. Sebab, jika tidak, Brahma
merasa berlaku tidak adil kepada ketiga putra Resi Waisrawa. Apalagi Kumbakarna
juga melakukan tapa yang tekun sehingga layak mendapat anugrah. Namun untuk
memenuhi permohonan para dewa itu, Dewa Brahma punya akal. Istri atau saktinya
yaitu Dewi Saraswati diutus supaya berstana di lidah Kumbakarna dan bertugas
untuk membuat lidahnya salah ucap.
Setelah itu Dewa Brahma datang
memberikan anugrah pada Kumbakarna. Kumbakarna memohon anugrah yakni agar
selama hidupnya selalu senang. Karena itu ia semestinya mengucapkan "suka
sada". Namun akibat Saraswati membelokkan lidah Kumbakarna, ucapan yang
terlontar dari mulut raksasa tinggi besar itu adalah "supta sada"
yang artinya selalu tidur. Suka artinya senang dan supta artinya tidur. Andaikata
Kumbakarna mendapatkan anugrah hidup bersenang-senang, maka besar
kemungkinannya ia selalu meng-humbar hawa nafsu. Raksasa yang menghumbar hawa
nafsu tentu akan dapat mengacaukan kehidupan di dunia. Demikianlah peranan Dewi
Saraswati, dengan kata-kata yang tersaring dalam lidah dapat menyelamatkan
dunia dari kekacauan.
Di dalam kesusastraan Weda,
Saraswati adalah nama sungai yang disebut Dewa Nadi artinya sungainya para
dewa. Sungai Saraswati terletak di selatan daerah Brahmawarta atau Kuruksetra.
Di sebelah utara Kuruksetra ada sungai bernama sungai Dasdwati. Kedua sungai
itu diyakini berasal dari Indraloka. Karena itulah disebut Dewa Nadi.
Keterangan ini juga diuraikan dalam Manawa Dharmasastra II,17. Karena itulah
sungai Saraswati amat dihormati dalam puja mantra agama Hindu seperti dalam
mantra Sapta Tirtha atau Sapta Gangga uang menyebutkan tujuh sungai utama di
India. Tujuh sungai itu yaitu sungai Gangga, Saraswati, Shindu, Wipasa,
Kausiki, Yamuna dan Serayu. Dalam mantram Surya Sewana, Saraswati dipuja pula
dalam Catur Resi yaitu Sarwa Dewa, Sapta Resi, Sapta Pitara dan Saraswati.
Dewi Saraswati diyakini pula
sebagai pemelihara kitab suci Weda. Hal ini diceritakan dalam Salya Parwa
sebagai berikut. Di lembah sungai Saraswati, terdapat tujuh resi ahli Weda
yaitu Resi Gautama, Bharadwaja, Wiswamitra, Yamadageni, Resi Wasistha, Kasiyapa
dan Atri. Ketika musim kemarau datang, keadaan di lembah sungai Saraswati itu
kering. Tumbuh-tumbuhan tidak dapat tumbuh dengan baik. Bahan makanan pun
menjadi sulit didapat. Karena keadaan alam yang gersang seperti itu, Sapta Resi
itupun pindah ke tempat lain. Sedangkan putra Dewi Saraswati yang bernama
Saraswata masih setia bertempat tinggal di lembah sungai Saraswati. Karena
kesetiaannya tinggal di tempat itu, Saraswata mendapat perlindungan dari
ibunya. Saraswata tetap mendapat bahan makanan dari lembah sungai itu. Para
Resi yang meninggalkan lembah sungai Saraswati, lambat laun tidak tahan pada
keadaan yang dialaminya. Karena di tempatnya yang baru, mereka sulit juga
mengubah nasib. Lagi pula para resi tadi telah lupa pada isi Weda. Padahal,
memahami Weda merupakan suatu kewajiban yang mutlak sebagai identitas seorang
resi. Gelar resinya akan tanpa makna kalau sampai lupa pada isi Weda.
Keadaan itu menyebabkan sang
Sapta Resi kembali ke lembah sungai Saraswati. Di lembah sungai Saraswati
itulah para resi mohon kesediaan Dewi Saraswati membangkitkan kesadarannya
untuk kembali dapat memahami isi Weda yang merupakan tugas pokoknya. Dewi
Saraswati memberi anugrah apabila para resi bersedia menjadi siswanya. Para
resi bertanya, apakah patut orang yang lebih tua berguru pada yang muda karena
Dewi Saraswati masih sangat muda. Terhadap pertanyaan ini, Dewi Saraswati
menjelaskan, seorang guru kerohanian tidaklah tergantung pada umurnya,
kekayaannya, kebangsawanannya. Seorang guru kerohanian patut dilihat dari
kemampuannya menguasai dan menyampaikan isi Weda. Kedewasaan spiritual Wedalah
yang menjadi patokan utama. Penjelasan itu yang menyebabkan semua resi tetap
berguru pada Dewi Saraswati.
Setelah kejadian itu, datang
lagi enam puluh ribu orang menghadap Dewi Saraswati agar diterima sebagai murid
karena ingin mendalami lautan rohani Weda. Lewat para resi dan siswa tadi, Dewi
Saraswati mengidupkan dan menyebarkan isi Veda ke seluruh pelosok dunia.
Mitologi Dewi Saraswati
dijelaskan pula dalam kitab Aiterya Brahmana. Dikisahkan seorang pendeta
bernama Resi Kawasa keturunan Sudra Wangsa. Pada suatu hari, sang resi memimpin
suatu upacara yajña. Karena resi itu keturunan Sudra Wangsa, maka sang resi
dilarang memimpin upacara oleh pendeta dari Wangsa Brahmana. Sang resi Kawasa
diusir dan dibuang ke padang pasir dengan tujuan agar ia mati di tengah-tengah
padang pasir yang gersang itu. Setelah ia berada di tengah-tengah padang pasir,
Resi Kawasa tetap melakukan pemujaan kepada Tuhan. Karena khusuknya pemujaan,
turunlah Dewi Saraswati dengan penuh kasih sayang. Resi Kawasa pun diajarkan
Weda mantra lengkap dengan Stuti dan Stotranya. Karena ketekunannya, semua
pelajaran dari Dewi Saraswati dapat dikuasainya dengan baik. Kesucian dan
kemampuan Resi Kawasa akhirnya jauh meningkat dari sebelumnya.
Dewi Saraswati menganggap,
kemampuan Resi Kawasa sudah luar biasa. Sang resi pun diizinkan kembali ke
tempatnya oleh Dewi Saraswati. Setelah ia sampai di tempatnya semula, pendeta
dari Wangsa Brahmana itu amat kagum atas keberhasilan Resi Kawasa. Resi Kawasa
memang mampu menujukkan kemahirannya tentang Weda baik teori maupun praktek
kehidupan sehari-hari berupa tingkah laku yang bersusila tinggi. Akibat
keutamaannya itu, Resi Kawasa diakui semua umat dan semua resi sebagai brahmana
pendeta sejati.
Demikianlah kekuasaan Dewi
Saraswati akan dapat memberikan peningkatan kesucian dan kehormatan kepada
mereka yang memujanya dengan sungguh-sunguh.
Pada Hari Raya Saraswati
Tentang bunga padma yang di Bali disebut bunga tunjung dipegang oleh salah satu
tangan patung atau gambar Dewi Saraswati adalah memiliki lambang-lambang
tersendiri. Di dalam Kakawin Saraswati disebutkan, bunga padma putih yang sedang
kembang merupakan lambang jantung di Bhuana Alit. Padma merah ada dalam hati,
padma biru ada dalam empedu. Budi suci sebagai aliran sungai Sindhu selalu
meyakini kesuburan bunga-bunga padma yang berwarna-warni itu. Kecakapan
bagaikan aliran sungai Narmada. Kemurnian hatiku sebagai sungai Gangga. Dewi
Saraswati berstana di lidah dan Dewi Irawati berstana di mata. Demikianlah
tujuan pemujaan Dewi Saraswati. Kalau tujuan pemujaan Dewi Saraswati dapat
tercapai maka terhindarlah kita dari godaan penyakit, kelakuan jahat dan buruk.
Semua perumpamaan itu adalah
suatu metoda seni sastra agama untuk mendatang kehalusan budi. Agama
mengarahkan hidup, ilmu pengetahuan memudahkan hidup, sedangkan seni
menghaluskan hidup. Karena itulah, memuja Tuhan Yang Maha Esa menurut pandangan
Hindu juga menggunakan aspek seni. Pemujaan kepada Dewi Saraswati tiada lain
adalah memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam aspeknya sebagai sumber ilmu
pengetahuan suci Weda. Menggapai kesucian Weda hendaknya juga melalui seni
budaya yang indah. Khususnya yang didasarkan oleh keindahan seni itulah yang
akan dapat dijadikan dasar untuk mencapai kesucian Sang Hyang Weda.
Hari Saraswati merupakan
manifestasi Hyang Widhi sebagai Dewa Ilmu Pengetahuan, Kekuatan Hyang Widhi
dalam manifestasi-Nya ini dilambangkan dengan seorang Dewi, Dewi membawa alat
musik, Genitri,, Pustaka suci, Teratai, serta duduk di atas angsa.
1. Dewi
simbol, bahwa ilmu Pengetahuan itu indah, cantik, menarik, dan lemah lembut dan
mulia
2. Alat
musik simbol, bahwa ilmu Pengetahuan itu seni budaya yang agung
3. Genetri
simbol, bahwa ilmu pengetahuan itu tak terbatas dan kekal abadi
4. Pustaka
suci simbol, bahwa itu sumber ilmu pengetahuan yang suci
5. Teretai
simbol, bahwa ilmu pengetahuan itu merupakan kesucian Hyang Widhi
6. Anga
adalah simbol kebijaksanaan, Angsa bisa membedakan antara yang baik dan buruk.
HARI RAYA GALUNGAN
Kata
"Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau
bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti
menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan,
sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya
berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara
ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.
Agak sulit untuk memastikan
bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan
pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di
Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha
Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di
Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini
didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat
Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah
namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.
Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik
terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada
hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882
Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:
Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih
kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.
Artinya: Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu
pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal
15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Sejak itu Galungan terus dirayakan
oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang
lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar pertimbangannya — pada
tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi keti-ka Raja Sri
Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika
tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan,
konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi
relatif pendek.
Ketika Sri Dhanadi mangkat dan
digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan
kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini
bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan
bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja
sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri
Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan
istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu
dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya
melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau
"bisikan religius" dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam
pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur
pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta
kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon
Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan
pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan
(sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan
Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk
melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya.
Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan
dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.
Makna Filosofis Galungan
Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan
kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari
adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam
diri manusia.
Selain itu juga memberi kemampuan
untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan
kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda
adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.
Galungan adalah juga salah satu
upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar
selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam
lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail.
Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:
Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang
janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep
Artinya: Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan,
arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk
melenyapkan segala kekacauan pikiran.
Jadi, inti Galungan adalah
menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang.
Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri.
Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma.
Dari konsepsi lontar Sunarigama
inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan me-nangnya
dharma melawan adharma. Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan
yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut
Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya
luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari
manusia. Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam
hari sebelum Galungan.
Dalam lontar Sundarigama disebutkan
bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania
pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua
bhatara). Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan
peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Sedangkan pada hari Jumat Kliwon
Wuku Sungsang disebutkan:
Kalinggania amretista raga tawulan
(Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing-masing). Karena itu Sugihan
Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata bali dalam bahasa Sansekerta
berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan. Pada Redite
Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia.
Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jñana, artinya: mendiamkan
pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga
disebutkan nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki
oleh Butha Galungan.
Pada hari Senin Pon Dungulan disebut
Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi
melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, "Pangastawaning sang ngamong
yoga samadhi."
Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan
disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk
mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala
yang disebut pamyakala lara melaradan. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih
babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini
hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri. Demikian urutan
upacara yang mendahului Galungan.
Setelah hari raya Galungan yaitu
hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat
mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melam-piaskan
kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang
indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria.
Hari berikutnya adalah hari Sabtu
Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan
dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa kadirghayusaan yaitu
hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang
meraka dan matirta gocara. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati
waranugraha Dewata.
Pada hari Jumat Wage Kuningan
disebut hari Penampahan Kuningan. Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan
upacara yang mesti dilangsungkan. Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani
yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran
pikiran).
Keesokan harinya, Sabtu Kliwon
disebut Kuningan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan, upacara menghaturkan
sesaji pada hari ini hendaknya dilaksana-kan pada pagi hari dan hindari
menghaturkan upacara lewat tengah hari. Mengapa? Karena pada tengah hari para
Dewata dan Dewa Pitara "diceritakan" kembali ke Swarga (Dewa mur mwah
maring Swarga).
Demikianlah makna Galungan dan Kuningan
ditinjau dari sudut pelaksanaan upacaranya. Macam-macam Galungan Meskipun
Galungan itu disebut "Rerahinan Gumi" artinya semua umat wajib
melaksanakan, ada pula perbedaan dalam hal perayaannya.
Berdasarkan sumber-sumber
kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah
dikenal adanya tiga jenis Galungan yaitu: Galungan (tanpa ada embel-embel),
Galungan Nadi dan Galungan Nara Mangsa. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Galungan Adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan
kemenangan dharma melawan adharma.
Berdasarkan keterangan lontar
Sundarigama disebutkan "Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan."
Artinya, Galungan itu dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan. Jadi Galungan
itu dirayakan, setiap 210 hari karena yang dipakai dasar menghitung Galungan
adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Kalau Panca Waranya Kliwon, Sapta
Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan, saat bertemunya ketiga hal itu disebut Hari
Raya Galungan.
Galungan Nadi Galungan yang pertama
dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa adalah
Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika) tanggal 15
(purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober. Disebutkan dalam
lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan Indra
Loka. Ini menandakan betapa meriahnya perayaan Galungan pada waktu itu.
Perbedaannya dengan Galungan biasa
adalah dari segi besarnya upacara dan kemeriahannya. Memang merupakan suatu
tradisi di kalangan umat Hindu bahwa kalau upacara agama yang digelar
bertepatan dengan bulan purnama maka mereka akan melakukan upacara lebih
semarak. Misalnya upacara ngotonin atau upacara hari kelahiran berdasarkan
wuku, kalau bertepatan dengan purnama mereka melakukan dengan upacara yang lebih
utama dan lebih meriah.
Disamping karena ada keyakinan bahwa
hari Purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa
kecemerlangan. Ketu artinya terang (lawan katanya adalah Rau yang artinya
gelap). Karena itu Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama disebut
Galungan Nadi. Galungan Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang lebih
setiap 10 tahun sekali.
Galungan Nara Mangsa
Galungan Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem
sasih Kapitu atau sasih Kesanga. Dalam lontar Sundarigama disebutkan sebagai
berikut:
"Yan Galungan nuju sasih Kapitu, Tilem Galungan,
mwang sasih kesanga, rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa ngaran."
Artinya: Bila Wuku Dungulan bertepatan dengan sasih
Kapitu, Tilem Galungannya dan bila bertepatan dengan sasih Kesanga rah 9,
tenggek 9, Galungan Nara Mangsa namanya.
Dalam lontar Sanghyang Aji
Swamandala ada menyebutkan hal yang hampir sama sebagai berikut:
"Nihan Bhatara ring Dalem
pamalan dina ring wong Bali, poma haywa lali elingakna. Yan tekaning sasih
Kapitu, anemu wuku Dungulan mwang tilem ring Galungan ika, tan wenang ngegalung
wong Baline, Kala Rau ngaranya yan mengkana. Tan kawasa mabanten tumpeng. Mwah
yan anemu sasih Kesanga, rah 9 tenggek 9, tunggal kalawan sasih Kapitu, sigug
ya mengaba gering ngaran. Wenang mecaru wong Baline pabanten caru ika, nasi
cacahan maoran keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring Dalem yanya manurung,
moga ta sira kapereg denira Balagadabah".
Artinya: Inilah petunjuk Bhatara di
Pura Dalem (tentang) kotornya hari (hari buruk) bagi manusia, semoga tidak
lupa, ingatlah. Bila tiba sasih Kapitu bertepatan dengan wuku Dungulan dan
Tilem, pada hari Galungan itu, tidak boleh merayakan Galungan, Kala Rau
namanya, bila demikian tidak dibenarkan menghaturkan sesajen yang berisi
tumpeng. Dan bila bertepatan dengan sasih Kasanga rah 9, tenggek 9 sama artinya
dengan sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya. Seyogyanya orang
mengadakan upacara caru yaitu sesajen caru, itu nasi cacahan dicampur ubi
keladi. Bila tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalam (maksudnya bila
melanggar) kalian akan diserbu oleh Balagadabah.
Demikianlah dua sumber pustaka
lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang Galungan Nara Mangsa. Dalam
lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Galungan Nara Mangsa disebutkan
"Dewa Mauneb bhuta turun" yang artinya, Dewa tertutup (tapi)
Bhutakala yang hadir. Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu adalah Galungan
raksasa, pemakan daging manusia. Oleh karena itu pada hari Galungan Nara Mangsa
tidak dilang-sungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak
menghaturkan sesajen "tumpeng Galungan". Pada Galungan Nara Mangsa
justru umat dianjurkan menghaturkan caru, berupa nasi cacahan bercampur keladi.
Demikian pengertian Galungan Nara Mangsa.
Palaksanaan upacara Galungan di Bali
biasanya diilustrasikan dengan cerita Mayadanawa yang diuraikan panjang lebar
dalam lontar Usana Bali sebagai lambang, pertarungan antara aharma melawan
adharma. Dharma dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan adharma dilambangkan
oleh Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan sebagai raja yang tidak percaya pada
adanya Tuhan dan tidak percaya pada keutamaan upacara agama.
Galungan di India
Hari raya Hindu untuk mengingatkan umat
atas pertarungan antara adharma melawan dharma dilaksanakan juga oleh umat
Hindu di India. Bahkan kemungkinan besar, parayaan hari raya Galungan di
Indonesia mendapat inspirasi atau direkonstruksi dari perayaan upacara Wijaya
Dasami di India. Ini bisa dilihat dari kata "Wijaya" (bahasa
Sansekerta) yang bersinonim dengan kata "Galungan" dalam bahasa Jawa
Kuna. Kedua kata itu artinya "menang".
Hari Raya Wijaya Dasami di India
disebut pula "Hari Raya Dasara". Inti perayaan Wijaya Dasami juga
dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan Kuningan. Sebelum puncak perayaan,
selama sembilan malam umat Hindu di sana melakukan upacara yang disebut Nawa
Ratri (artinya sembilan malam). Upacara Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara
persembahyangan yang sangat khusuk dipimpin oleh pendeta di rumah-rumah
penduduk. Nawa Ratri lebih menekankankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar
perjuangan melawan adharma. Pada hari kesepuluh berulah dirayakan Wijaya Dasami
atau Dasara. Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa kebersamaan, kemeriahan
dan kesemarakan untuk masyarakat luas.
Perayaan Wijaya Dasami dirayakan dua
kali setahun dengan perhitungan tahun Surya. Perayaan dilakukan pada bulan
Kartika (Oktober) dan bulan Waisaka (April). Perayaan Dasara pada bulan Waisaka
atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri. Durgha Nawa Ratri ini merupakan
perayaan untuk kemenangan dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita
kemenangan Dewi Parwati (Dewi Durgha) mengalahkan raksasa Durgha yang
bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu raksasa yang amat sakti. Karena
Dewi Parwati menang, maka diberi julukan Dewi Durgha. Dewi Durgha di India
dilukiskan seorang dewi yang amat cantik menunggang singa. Selain itu diyakini
sebagai dewi kasih sayang dan amat sakti. Pengertian sakti di India adalah
kuat, memiliki kemampuan yang tinggi. Kasih sayang sesungguhnya kasaktian yang
paling tinggi nilainya. Berbeda dengan di Bali. Kata sakti sering diartikan
sebagai kekuatan yang berkonotasi angker, seram, sangat menakutkan.
Parayaan Durgha Nawa Ratri adalah
perjuangan umat untuk meraih kasih sayang Tuhan. Karunia berupa kasih sayang
Tuhan adalah karunia yang paling tinggi nilainya. Untuk melawan adharma
pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa kasih sayang Tuhan. Kasih sayang
Tuhanlah merupakan senjata yang paling ampuh melawan adharma.
Sedangkan upacara Wijaya Dasami pada
bulan Kartika (Oktober) disebut Rama Nawa Ratri. Pada Rama Nawa Ratri pemujaan
ditujukan pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu. Selama sembilan malam umat
mengadakan kegiatan keagamaan yang lebih menekankan pada bobot spiritual untuk
mendapatkan kemenangan rohani dan menguasai, keganasan hawa nafsu. Pada hari
kesepuluh atau hari Dasara, umat merayakan Wijaya Dasami atau kemenangan hari
kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi ramai. Di mana-mana, orang menjual panah
sebagai lambang kenenangan. Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana,
Kumbakarna atau Surphanaka. Ogoh-ogoh besar dan tinggi itu diarak keliling
beramai-ramai. Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan di mana sudah ada
orang yang terpilih untuk memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Anoman.
Puncak dari atraksi perjuangan
dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak panah di atas panggung yang telah
dipersiapkan sebelumnya. Panah itu diatur sedemikian rupa sehingga begitu
ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama, ogoh-ogoh itu langsung terbakar dan
masyarakat penontonpun bersorak-sorai gembira-ria. Orang yang memperagakan diri
sebagai Sri Rama, Dewi Sita, Laksmana dan Anoman mendapat penghormatan luar
biasa dari masyarakat Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu. Anak-anak
ramai-ramai dibelikan panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan
adharma.
Kalau kita simak makna hari raya
Wijaya Dasami yang digelar dua kali setahun yaitu pada bulan April (Waisaka)
dan pada bulan Oktober (Kartika) adalah dua perayaan yang bermakna untuk
mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang itulah suatu "sakti"
atau kekuatan manusia yang maha dahsyat untuk mengalahkan adharma. Sedangkan
pada bulan Oktober atau Kartika pemujaan ditujukan pada Sri Rama. Sri Rama
adalah Awatara Wisnu sebagai dewa Pengayoman atau pelindung dharma. Jadi dapat
disimpulkan bahwa tujuan filosofi dari hari raya Wijaya Dasami adalah
mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan
itulah merupakan kekuatan yang harus dicapai oleh menusia untuk memenangkan
dharma. Kemenangan dharma adalah terjaminnya kehidupan yang bahagia lahir
batin.
Kemenangan lahir batin atau dharma
menundukkan adharma adalah suatu kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau kebutuhan
rohani seperti itu dapat kita wujudkan setiap saat maka hidup yang seperti
itulah hidup yang didambakan oleh setiap orang. Agar orang tidak sampai lupa
maka setiap Budha Kliwon Dungulan, umat diingatkan melalui hari raya Galungan
yang berdemensi ritual dan spiritual.
(Sumber: Buku "Yadnya dan Bhakti" oleh Ketut
Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni)
HARI RAYA KUNINGAN
Hari raya Kuningan jatuh
setiap Sabtu Kliwon Wuku Kuningan (210 hari sekali), tapatnya sepuluh hari
Galungan. Hari Kuningan adalah hari payogan Hyang Widhi turun ke dunia dengan
diiringi oleh para dewa dan pitara pitari. Hyang Widhi datang dengan
melimpahkan karunia-Nya kepada umat manusia. Pada hari Kuningan umat hendaknya
menghaturkan bakti dan memohon kesentosaan, keselamatan, perlindungan dan
tuntunan lahir batin.
Pada hari Kuningan, sajen
(banten) yang dihaturkan harus dilengkapi dengan nasi yang berwarna kuning. Hal
ini bertujuan sebagai tanda terima kasih atas kesejahteraan serta kemakmuran
yang dilimpahkan Hyang Widhi. Pada hari yang sama, umat juga membuat tamiang,
endongan dan kolem yang dipasang di padmasana, merajan dan penjor.\
Tamiang ini adalah simbol
penangkis dari serangan, endongan adalah simbul tempat makanan (karena itu
endongan berisi buah-buahan, tebu, tumpeng, dan lauk-pauk) Semua ini disiapkan
untuk kelangsungan upacara hari raya Kuningan. Upacara ini sebaiknya selesai
sebelum tengah hari.
Perayaan Hari Kuningan agak
spesial, yaitu hanya dilakukan sampai siang hari saja. Mengapa?
Pagi hari pada waktu suasana
alam masih relatif tenang, merupakan saat yang sangat tepat untuk melakukan
Meditasi. Karena itu kita melakukan Puja Tri Sandya pada pagi hari (saat Brahma
Muhurta )
Suasana hening menghasilkan Ka
– Uningan untuk memperoleh jnana yang baik, suatu pengetahuan suci spiritual.
Pengetahuan yang kita miliki
bisa diperoleh dengan tiga cara yang disebut dengan Tri Pramana yaitu :
1. Agama
Pramana : Mendengarkan ajaran para Guru yang diajarkan secara oral.
2. Anumana
Pramana yaitu dengan menggunakan akal, daya pikir dan logika kita.
3. Pratyaksa
Pramana yaitu dengan melihat langsung hal hal yang bersifat rohani.
Pada Hari Kuningan bermakna
agar kita Ka-uningan untuk memperoleh pengetahuan dharma (samya jnana). Hal ini
bisa diperoleh dengan menggunakan Dasendriya yaitu Panca Budhindriya dan Panca
karmendriya yang juga disimbulkan dengan adanya 10 hari antara hari Galungan
dan Kuningan. Pengetahuan tersebut berupa Tattwa .
Hasil akhir yang ingin dicapai
adalah tercapainya Suddha Jnana yaitu pikira suci, untuk menjadi orang yang
Jayabaya ( menang dalam menghadapi semua halangan/ marabahaya).
Kita selalu diharapkan untuk menggali ke dalam diri masing masing sesuai dengan makna kajeng Kliwon yang juga terletak di tengah pangider ider. Jadi hendaknya kita kembali ke dalam diri yang sejati sebagaimana tujuan hidup kita yakni Moksatham ja gadhita ya Cai thi Dharma. Hari Kuningan merupakan momentum untuk mengingatkan kita untuk selalu mencari pengetahuan yang suci untuk mengenali diri kita yang sejati.
Kita selalu diharapkan untuk menggali ke dalam diri masing masing sesuai dengan makna kajeng Kliwon yang juga terletak di tengah pangider ider. Jadi hendaknya kita kembali ke dalam diri yang sejati sebagaimana tujuan hidup kita yakni Moksatham ja gadhita ya Cai thi Dharma. Hari Kuningan merupakan momentum untuk mengingatkan kita untuk selalu mencari pengetahuan yang suci untuk mengenali diri kita yang sejati.
HARI RAYA CIWARATRI
Ciwaratri adalah hari suci untuk
melaksanakan pemujaan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa
dalam perwujudan-Nya sebagai Sang Hyang Siwa. Hari Siwaratri mempunyai makna
khusus bagi umat Hindu, karena pada hari tersebut Sang Hyang Siwa diyakini
sedang melakukan yoga semadi. Sehubungan dengan hal tersebut, umat Hindu mengadakan
kegiatan yang mengarah pada usaha penyucian diri, pemusatan pikiran kehadapan
Sang Hyang Siwa, dalam usaha menemukan "kesadaran diri" (atutur ikang
atma ri jatinya). Hari Siwaratri jatuh pada hari "Catur
Dasikrsnapaksa" bulan "Magha (panglong ping 14 sasih kapitu).
Di dalam sastra hindu yaitu lontar
Lubdhaka (oleh Mpu Tantular) disebutkan tentang pelaksanaan hari Ciwaratri.
Pelaksanaan hari Ciwaratri diawali dengan pembersihan badan dengan cara mandi
di pagi hari. Setelah melakukan persembahyangan pagi, kemudian dilanjutkan
dengan melakukan puasa. Pada malam harinya dilakukan sambang samadhi yaitu
tidak tidur semalam suntuk dengan cara menenangkan pikiran atau membaca
kitab-kitab suci.
Pada malam Ciwaratri ini, setiap
orang mendapatkan kesempatan untuk melebur perbuatan buruknya dengan jalan
melakukan brata Ciwaratri. Jadi sesungguhnya malam Ciwaratri adalah malam
peleburan dosa, yaitu dosa-dosa yang telah dilakukan selama hidupnya. Orang
yang paling berdosa sekalipun mendapat kesempatan melebur dosanya pada malam
Ciwaratri.
Adapun brata Ciwaratri tediri dari tiga macam pantangan yaitu: monabrata (tidak berbicara), upawasa (tidak makan dan tidak minum) dan jagra (tidak tidur). Ketiga macam pantangan tersebut dilakukan dengan tiga tingkatan sesuai dengan kemampuan. Tiga tingkatan tesebut adalah:
Adapun brata Ciwaratri tediri dari tiga macam pantangan yaitu: monabrata (tidak berbicara), upawasa (tidak makan dan tidak minum) dan jagra (tidak tidur). Ketiga macam pantangan tersebut dilakukan dengan tiga tingkatan sesuai dengan kemampuan. Tiga tingkatan tesebut adalah:
- Utama, melaksanakan: monabrata, upawasa, dan jagra
- Madya, melaksanakan: upawasa dan jagra
- Nista, melaksanakan: jagra
Lebih lanjut tentang pelaksanaan Ciwaratri adalah
sebagai berikut:
- Untuk Sang Sadhaka disesuaikan dengan "dharmaning kawikon".
- Untuk Walaka, didahului dengan melaksanakan "sucilaksana" (mapaheningan) pada pagi hari panglong ping 14 sasih kapitu. Upacara dimulai pada hari menjelang malam dengan urutan sebagai berikut :
- "Maprayascita" sebagai pembersihan pikiran dan bathin.
- Ngaturang banten pajati (mempersembahkan sesajen pajati) di Sanggar Surya disertai persembahyangan kehadapan Sang Hyang Surya, mohon kesaksian-Nya.
- Sembahyang kehadapan leluhur yang telah "sidha dewata" mohon bantuan dan tuntunannya.
- Ngaturang banten pajati kehadapan Sang Hyang Siwa. Banten ditempatkan pada "Sanggar Tutuan" atau "Palinggih Padma" atau dapat pula pada "Piasan" di Pemerajan atau Sanggah. Kalau semuanya tidak ada, dapat pula diletakkan pada suatu tempat di halaman terbuka yang dipandang wajar dan diikuti sembahyang yang ditujukan kepada Sang Hyang Siwa dan Dewa Samodhaya. Setelah sembahyang dilanjutkan dengan nunas (mohon) "Tirta Pakuluh". Terakhir adalah "masegeh" di depan Sanggar Surya. Rangkaian upacara Siwaratri ditutup dengan melaksanakan "Dana Punia"
- Sementara proses itu berlangsung, agar tetap mentaati upawasa dan jagra. Upawasa berlangsung dari pagi hari pada panglong ping 14 sasih kapitu sampai dengan besok paginya (24 jam). Setelah itu sampai malam (12 jam) sudah bisa makan nasi putih berisi garam dan minum air putih. Jagra yang dimulai sejak panglong ping 14 berakhir besok harinya Pukul 18.00 (36 jam).
- Persembahyangan kehadapan Sang Hyang Siwa dengan banten pajati, dilakukan tiga kali, yaitu pada hari menjelang malam panglong ping 14 sasih kapitu, pada tengah malam, dan besoknya menjelang pagi
HARI RAYA PURNAMA DAN TILEM
Purnama dan Tilem adalah hari suci bagi umat
Hindu, dirayakan untuk memohon berkah dan karunia dari Hyang Widhi. Hari
Purnama, sesuai dengan namanya, jatuh setiap malam bulan penuh (Sukla Paksa).
Sedangkan hari Tilem dirayakan setiap malam pada waktu bulan mati (Krsna
Paksa). Kedua hari suci ini dirayakan setiap 30 atau 29 hari sekali.
Pada hari Purnama dilakukan pemujaan terhadap
Sang Hyang Chandra, sedangkan pada hari Tilem dilakukan pemujaan terhadap Sang
Hyang Surya. Keduanya merupakan manifestasi dari Hyang Widhi yang berfungsi
sebagai pelebur segala kekotoran (mala). Pada kedua hari ini hendaknya diadakan
upacara persembahyangan dengan rangkaiannya berupa upakara yadnya.
Beberapa sloka yang berkaitan dengan hari Purnama
dan Tilem dapat ditemui dalam Sundarigama yang mana disebutkan:
'Muah ana we utama parersikan nira Sanghyang Rwa
Bhineda, makadi, Sanghyang Surya Candra, atita tunggal we ika Purnama mwang
Tilem. Yan Purnama Sanghyang Wulan ayoga, yan ring Tilem Sanghyang Surya ayoga
ring sumana ika, para purahita kabeh tekeng wang akawangannga sayogya
ahening-hening jnana, ngaturang wangi-wangi, canang biasa ring sarwa Dewa pala
keuannya ring sanggar, Parhyangan, matirtha gocara puspa wangi"
Ada hari-hari utama penyelenggaraan upacara
persembahyangan sejak dulu sama nilai keutamaanya yaitu hari Purnama dan Tilem.
Pada hari Purnama, bertepatan dengan Sanghyang Candra beryoga dan pada hari
Tilem, bertepatan dengan Sanghyang Surya beyoga memohonkan keselamatan kepada
Hyang Widhi. Pada hari suci demikian itu, sudah seyogyanya kita para rohaniawan
dan semua umat manusia menyucikan dirinya lahir batin dengan melakukan upacara
persembahyangan dan menghaturkan yadnya kehadapan Hyang Widhi.
Pada hari Purnama dan Tilem ini sebaiknya umat melakukan pembersihan lahir batin. Karena itu, disamping bersembahyang mengadakan puja bhakti kehadapan Hyang Widhi untuk memohon anugrah-Nya, umat juga hendaknya melakukan pembersihan badan dengan air.
Pada hari Purnama dan Tilem ini sebaiknya umat melakukan pembersihan lahir batin. Karena itu, disamping bersembahyang mengadakan puja bhakti kehadapan Hyang Widhi untuk memohon anugrah-Nya, umat juga hendaknya melakukan pembersihan badan dengan air.
Kondisi bersih secara lahir dan batin ini sangat
penting karena dalam jiwa yang bersih akan muncul pikiran, perkataan dan
perbuatan yang bersih pula. Kebersihan juga sangat penting dalam mewujudkan
kebahagiaan, terutama dalam hubungan dengan pemujaan kepada Hyang Widhi.
http://www.hindubatam.com